Yang terakhir yakni Desa Solo. Itu pilihan Raden Tumenggung Hanggawangsa, dan semuanya menyetujui kecuali Residen Hohendrof yang menyatakan lantaran tanah Solo berawa-rawa dan terlalu dekat dengan Bengawan Solo, maka justru akan sering dihampiri bencana. Semua memiliki pendapat berdasar penglihatan masing-masing. Semuanya kami kembalikan kepada Sinuhun…”
Suara-suara itu terus membawa lelaki ini menyusuri masa lalunya. Juga pada episode ketika akhirnya Susuhunan justru lebih memilih tanah berawa-rawa itu dan memerintahkan agar rawa-rawa itu ditimbun dan dikeringkan.
Rawa-rawa itu kemudian memang coba ditimbun dan dikeringkan. Rakyat dengan sukarela berbondong-bondong menimbunnya dengan tanah dan batu. Namun hingga berbilang hari, usaha itu ternyata belum juga membuahkan hasil. Hingga mereka hampir putus asa.
“Kita harus bisa menemukan sumber mata airnya dulu,” lelaki itu kemudian seperti mendengar suaranya sendiri, jauh dari kedalaman sunyi. Hingga akhirnya sunyi memperlihatkan jasadnya sendiri yang berdiam tenang di tempat persemadiannya kala itu.
Ketika kesadaran telah menemukan wadagnya, tubuh lelaki itu mendadak terasa panas dan semakin panas. Seperti ada yang menginginkan agar dia bangkit dan mengakhiri mati sunyinya.
Tapi suara samar-samar yang ia yakini sebagai suaranya sendiri itu ternyata masih setia membisiki, “Tunggu. Tunggulah sebentar. Kaulah yang menemukan sumber mata air Tirta Amerta Kamandanu itu. Maka lewat dirimu pula petunjuk itu akan diberikan. Jadi, bersabarlah sebentar,” berulang-ulang, dengan begitu yakinnya. Seolah ingin menemani lelaki itu dalam melawan nafsu yang menyamar.