Semakin Murah
Direktur IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan, EBT sudah menjadi arus utama di banyak negara. Penyebabnya tidak lain adalah harga teknologi energi terbarukan yang semakin murah dan kompetitif terhadap teknologi pembangkit bertenaga bahan bakar fosil, peralatan listrik yang lebih hemat penggunaan energinya, serta upaya global untuk mencapai target Kesepakatan Paris yang membatasi kenaikan temperatur global di bawah dua derajat Celsius.
Daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan seperti solar PV (photovoltaic) dan turbin angin akan sulit dibendung di masa depan karena harga teknologi yang turun dengan drastis dan efisiensi yang meningkat.
Pada periode 2009 hingga 2015, harga solar PV telah mengalami penurunan 80 persen, dan International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan harga solar PV akan turun lebih jauh sebesar 60 persen hingga 2025 mendatang.
Sedangkan harga turbin angin telah turun rata-rata 38 persen sejak 2009. Dan di sejumlah negara hal ini membuat harga listrik dari energi terbarukan lebih murah daripada listrik bersumber pembangkit panas bumi.
Sebagai gambaran, Fabby mengatakan, dari hasil Studi Pasar Listrik Surya Atap yang dilakukan GIZ-INFIS dan IESR belum lama ini, mengindikasikan penurunan harga sistem PV hingga 30 hingga 40 persen.
Atau dengan adanya manfaat finansial yang sama dapat memicu sedikitnya empat juta rumah tangga di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai pengguna awal untuk memasang listrik surya atap yang kapasitasnya setara dengan 12 hingga 16 GWp.
IRENA memperkirakan potensi surya atap di Indonesia mencapai 15 GWp hingga 2030.
Baru-baru ini Carbon Tracker juga merilis laporan yang menyatakan bahwa pada 2021 akan lebih murah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ketimbang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia. Dan pada 2027 hingga 2028 akan lebih murah membangun PLTS baru daripada mengoperasikan PLTU Batubara.