JAKARTA – Penggunaan energi bersih sudah menjadi tren. Dorongan untuk meningkatkan penggunaannya bertambah kuat mana kala negara-negara dituntut menekan pemanasan global supaya tidak sampai melewati angka dua derajat Celsius sesuai dengan Kesepakatan Paris.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan terbarunya menuntut negara-negara lebih ambisius lagi dalam menetapkan target penurunan emisi dengan mematok target kenaikan suhu Bumi tidak boleh lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Sektor energi, di negara-negara lain yang tidak memiliki terlalu banyak hutan, menjadi perhatian paling besar dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK).
Di Indonesia, cepat atau lambat penggunaan bahan bakar juga mungkin bisa menggeser posisi penggunaan lahan, alih fungsi lahan dan kehutanan (Land Use, Land Change Use, Forestry/LULUCF) sebagai penghasil besar gas rumah kaca.
Sebagaimana seseorang memutuskan untuk berdiet, dalam hal mengalihkan konsumsi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih suatu negara juga punya berbagai pertimbangan, dan itu bukan hanya untuk menghalau dampak perubahan iklim serta pemanasan global.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus Abildgaard Kristeensen, mengatakan, selain untuk menekan emisi GRK, negaranya berinvestasi dalam pembangunan fasilitas EBT untuk memunculkan banyak lapangan kerja.
“Sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Cina yang juga banyak melakukan investasi fasilitas EBT. Pada akhirnya ini tidak hanya untuk alasan perubahan iklim saja,” kata Kristeensen dalam diskusi panel tentang visi dan pengalaman transisi energi menuju sistem energi rendah karbon di Forum Dialog Transisi Energi Indonesia 2018 yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, belum lama ini.