Kasus Pelanggaran HAM Berat, Jaksa Agung Tawarkan Rekonsiliasi
Editor: Mahadeva WS
JAKARTA – Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu, akan terus ditagih, siapa pun yang memegang tampuk pemerintahan. Untuk itu, agar tidak menjadi belenggu, harus ada solusi penyelesaian.
Hal tersebutlah yang mendorong Jaksa Agung HM Prasetyo memunculkan gagasan, kasus tersebut diselesaikan secara non yudisial. “Sebenarnya pelanggaran HAM berat ini akan terus ditagih, siapa pun pemerintahnya. Terbukti sudah berapa kali ganti pemerintahan, sudah beberapa tahun yang lalu kasus pelanggaran HAM berat ini terus muncul. Untuk itu saya menawarkan lewat pendekatan non yudisial dan rekonsiliasi, karena cara ini yang paling bagus,” kata HM Prasetyo, Jumat (21/9/2018).
Menurutnya, penyelesaian secara non yudisial dengan rekonsiliasi, menjadi solusi yang paling realistis. Dan hal itu dibenarkan oleh peraturan perundangan, sehingga Dia menawarkan hal tersebut kepada Komnas HAM. “Penyelesaian secara rekonsiliasi dan non yudisial merupakan solusi yang paling realistis. Rekonsiliasi ini dibenarkan oleh undang-undang. Jadi kalau bisa diselesaikan dengan baik, kenapa harus berlarut-larut tanpa ada hasil,” tandasnya.
Penyelesaian dilakukan dengan non yudisial atau dengan rekonsiliasi, tentu memiliki konsekuensi. Pemerintah akan memberikan kompensasi kepada para korban atau pun keluarga korban pelanggan HAM berat tersebut. Hanya saja kompensasi tersebut disesuaikan dengan kemampuan pemerintah.
Penyelesaian secara non yudisial akan terus ditawarkan, karena kasus pelanggaran HAM berat tidak mengenal kedaluwarsa. Kapan pun perkaranya bisa ditagih dan diungkit kembali, siapa pun pemerintah yang berkuasa. “Mengapa saya usulkan rekonsiliasi dan non yudisial, karena tidak ada kedaluwarsa dalam kasus pelanggaran HAM berat. Akan terus ditagih siapa pun yang berkuasa nantinya. Beda dengan perkara lain, ada kadaluarsa, seperti 10 tahun, 17 tahun, tapi pelanggaran HAM berat ini tidak ada kadaluarsa,” jelasnya.