Pakar: Pemanfaatan EBT di Indonesia Masih Banyak Hambatan
Editor: Koko Triarko
Cendana News, BANDUNG – Pakar Hukum Energi Universitas Airlangga (UNAIR) Indria Wahyuni menyebut masih ada sejumlah persoalan untuk bisa mewujudkan target pemerintah terkait pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia sebesar 23 persen pada tahun 2025 mendatang.
Salah satunya adalah masih belum adanya dasar hukum EBT yang kuat di Indonesia.
Menurut dia, saat ini sektor EBT yang memiliki dasar hukum hanyalah panas bumi sebagaimana tercantum dalam UU 21/2014.
Itupun pengembangan energi panas bumi masih belum sesuai target, sementara potensi panas bumi di Indonesia sangat melimpah.
Dia mengatakan, sektor energi fosil seperti migas masih mengacu UU 22/2001 yang umurnya sudah hampir 21 tahun.
Banyak peraturan yang sifatnya hanya status quo dan tumpang tindih.
“Sehingga berbelit dan iklimnya tak ramah investasi,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari situs resmi Unair, Selasa (15/3/2022).
Indria juga menyebut tantangan lain adalah masih adanya ketimpangan komitmen pengembangan hukum antara energi fosil dan EBT.
Hal itu terefleksi dari golnya Perubahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang mengubah banyak sekali aspek hukum minerba.
Harus ada government willingness untuk mau berinvestasi EBT yang berjangka panjang.
“Tak sekadar energi fosil yang berjangka pendek dan melanggengkan politik ekstraksi,” ungkapnya.
Indria menegaskan, bahwa hukum harus dapat mengakomodir tiga faktor dalam rencana transisi EBT di Indonesia.
Pertama, transisi yang memperhatikan ketahanan energi, harus ada sinergitas antara energi berbasis fosil dan EBT.
Artinya, transisi menuju EBT tidak boleh langsung mematikan sumber energi fosil, karena arah gerak kebijakan tersebut sangat rentan memunculkan krisis energi.