Hari-hari ini, kita dipertontonkan akrobat politik kekuasaan, unsur-unsur di dalam kekuasaan bermanuver untuk mematikan demokrasi Indonesia. Akrobat politik itu berupa pelarangan gerakan aspirasi politik #gantipresiden2019. Upayanya dilakukan dengan menghadapkan massa yang pro #gerakangantipresiden2019 dengan yang pro penguasa.
Atau setidaknya, membiarkan pendukung penguasa, melakukan persekusi terhadap gerakan politik pihak lain. Atau berbagai bentuk ambiguitas dalam memperlakukan gerakan pro #gerakangantipresiden2019, dengan gerakan pro cinta presiden.
Penyampaian aspirasi politik #gantipresiden2019, merupakan hak konstitusional warga negara. Gerakan aspirasi politik ganti presiden, berbeda dengan gerakan ideologi untuk mengganti indeologi negara, Pancasila. HTI dilarang, karena mengembangkan ideologi transnasional, khilafah, yang berbeda dengan ideologi Pancasila.
Gerakan ganti presiden, melalui pemilu yang sah dengan gerakan ideologi untuk mengganti ideologi negara Pancasila, merupakan dua hal yang berbeda. Tentunya penyikapannya juga harus beda. Konsolidasi aspirasi politik, #gantipresiden2019 bukan gerakan makar,. Upaya penggantian Presiden dilakukan tidak dengan menghentikan secara paksa seorang Presiden, di tengah jabatan secara tidak konstitusional.
Gerakan #gantipresiden2019 merupakan penyampaian aspirasi politik yang wajar dan memperoleh perlindungan dalam konstitusi negara. Pelarangan penyampaian apirasi politik, atau pelarangan konsolidasi aspirasi politik #gantipresiden2019 merupakan bentuk pembungkaman, sekaligus kemunduran demokrasi.
Upaya tersebut, merupakan tipikal kekuasaan tiranik atau otoritarianistik, karena sebuah rezim melakukan atau membenarkan pembungkaman terhadap gerakan aspirasi politik. Banyak yang menuding, Orde Baru otoriter, namun pelarangan konsolidasi aspirasi politik #gantipresiden2019 merupakan cerminan kebijakan rezim otoritarianistik yang sesungguhnya.