Ibu, Kenapa Burung Dara Itu tak Terbang?

CERPEN UMI SALAMAH

MUSIM semi di Korea Selatan, begitu indah dinikmati. Bunga sakura berwarna merah muda bermekaran berebut menghias dahan pohon. Keanggunan fenomena alam ini mengantarkan sebuah cikal bakal.

Musim ini dianggap sebagai permulaan yang baik untuk melakukan sesuatu. Musim semi biasanya selalu bertepatan dengan pendaftaran masuk ke sekolah dan perguruan tinggi.

Keira, salah satu dosen di universitas ternama di Korea Selatan menatap hamparan bunga sakura. Langit jingga senja di belakang hamparan bunga sakura menambah kegemerlapan alam yang mempesona. Hanya saja, wajah teduh milik Keira berbanding terbalik dengan kesempurnaan ciptaan Sang Maha Pencipta.

Sendu. Hanya itu yang dapat ditangkap dari ekspresi Keira. Musim pendaftaran mahasiswa baru tahun sekarang memang lebih banyak dibandingkan tahun lalu. Tetapi bukan itu yang menggundahkan pikirannya. Hatinya merongrong akan tanah kelahirannya.

Satu jam yang lalu, untuk ke sekian kalinya Hendra, kakak tertuanya menelepon. Biasanya Keira akan menanggapi telepon kakak lelakinya dengan malas. Bahkan sering dia mengabaikan telepon dari kakaknya. Karena Keira hapal betul setiap ucapan kakaknya. Permintaan untuk pulang. Ya, sejak enam bulan yang lalu, hanya itu yang diinginkan kakaknya.

Keira selama ini memang acuh tak acuh pada keluarganya. Bukan hanya kepada kakak tertuanya, tetapi juga pada kedua kakaknya yang lain. Selama lima tahun tinggal di Korea Selatan, mereka bertiga bergiliran menelepon Keira. Tetapi baru kali ini, dia peduli dengan ucapan kakaknya.

Keira menengadahkan kepalanya ke atas. Matanya terasa buram oleh cairan dari dalam tubuhnya. Seiring dengan kalimat terakhir kakaknya yang berputar di kepalanya.

Lihat juga...