Membenahi Tata Kelola Pesisir
OLEH MUHAMAD KARIM
Negara yang menyandang PI tertinggi ialah Myanmar 93,03 (2018) dan Ghana 98,83 (2017). Sementara penyandang PI terendah pada 2018 dan 2017 masing-masing Finlandia 12,07 dan Islandia 10,02. Artinya, kedua negara ini tingkat polutannya amat rendah.
Keempat, environmental performance index (EPI) yang dirilis berkat kerjasama Yale University, Columbia University dan World Economic Forum (2018). Parameter yang digunakan terkait 10 aspek yang dibagi dua kategori: kesehatan lingkungan dan ekosistem vital. Hasilnya menempatkan Indonesia di peringkat 133 dengan EPI 46,92 dari 180 negara.
Artinya, performa lingkungan Indonesia juga lebih buruk dibandingkan Swiss di peringkat pertama dengan EPI 87,42. Ironisnya, status kita berada di bawah peringkat negara ASEAN; Singapura 49 (EPI 64,23), Malaysia 75 (EPI 59,22 ), Filipina 86 (EPI 57,65), Thailand 121 (EPI 49,88 ), Timor Leste 125 (EPI 49,54 ), dan Vietnam 132 (EPI 46,96).
Merujuk berbagai indikator yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa tata kelola pesisir dan laut Indonesia perlu pembenahan serius. Hal ini ditandai oleh seringnya terjadi pencemaran laut bersumber dari tumpahan minyak (oil spill), limbah industri, proses di kapal, pengeboran minyak lepas pantai, sampah daratan, emisi transportasi laut, dan pestisida dari aktivitas pertanian (Sulityono, 2013).
Fakta teranyar ialah kasus tumpahan minyak di pulau Pari dan Teluk Balikpapan serta sampah plastik yang berdampak pada kematian mangrove dan terumbu karang, hingga biota endemik pesut Mahakam. Terkait sampah plastik, riset Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, tahun 2015 menyebutkan bahwa Indonesia sebagai penyumbang terbanyak nomor dua di dunia hingga 187,2 juta ton.