Membenahi Tata Kelola Pesisir
OLEH MUHAMAD KARIM
TERJADINYA pencemaran minyak di Teluk Balikpapan dan Pulau Pari Kepulauan Seribu hingga menumpuknya sampah plastik di perairan Indonesia jadi problem serius dalam pengelolaan pesisir.
Pasalnya kasus-kasus ini memengaruhi kesehatan wilayah pesisir dan ekosistem khasnya yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove, biota hingga masyarakat yang memanfatkannya.
Timbul pertanyaan, ada apa dengan tata kelola pesisir kita?
Semenjak pemerintah menggulirkan proyek pesisir tahun 1996 Indonesia mulai menerapkan kebijakan pengelolaan pesisir terpadu. Kebijakan ini bermaksud dapat mengatasi dan mengantisipasi dampak beragam aktivitas yang tumpang tindih di wilayah itu.
Salah satu lokasi penerapannya ialah Teluk Balikpapan. Dipilihnya teluk ini karena padatnya aktivitas yang saling tumpang tindih. Mulai dari kawasan industri, refinary minyak bumi, kepelabuhanan, pengangkutan batubara, alur pelayaran, perikanan tangkap dan budidaya hingga permukiman kota Balikpapan.
Ironisnya, program yang telah diterapkan selama 22 tahun itu ternyata belum optimal mengantisipasi soal pencemaran. Padahal, ia telah memiliki dokumen pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan aturan yang memayungi. Mengapa demikian?
Performa Tata Kelola
Mencermati performa tata kelola pesisir dan laut Indonesia setidaknya dapat disimak dari berbagai indikator yang dirilis lembaga-lembaga riset kredibel. Hasil riset yang tersebut, pertama, The Economist Intelligence Unit (2015) yang menyajikan indeks tata kelola pesisir 20 negara yang berbasis maritim di dunia termasuk Indonesia.
Hasilnya, Indonesia menempati peringkat 15 dengan skor 57 sama dengan Vietnam. Sementara peringkat tertinggi Selandia Baru (86 ) dan paling buncit Rusia (42). Selain Rusia, di bawah peringkat Indonesia ialah India (56), Peru (55), dan Nigeria (50).