Ibuku Memang Jempol
(Oleh: Siti Hardijanti Rukmana)
Bila aku mengingat cerita ibu, lucu ceritanya. Tetapi selalu penuh motivasi bagaimana kita mengatasi kehidupan. Kisah ini ketika bapak menjadi Danrem di Yogya, kami tinggal di jalan Pugung 4D, rumah dinas bapak.
Ibu bercerita …“Dek semono wuk (waktu itu nak), bapak jadi Danrem, yang nderek (ikut) bapak ibu banyak, adik-adiknya bapak dan adik-adiknya ibu, dan saudara-saudara. Gaji bapak saat itu nggak cukup untuk menyediakan makan orang sebanyak itu. Kalau beras cukup,” ibu merenung sambil tersenyum.
Aku lantas bertanya : “Lalu makan apa bu semuanya, makan bubur ya bu”.

Bapak sambil tersenyum bangga memotong pembicaraan kami : “Ibumu itu pinter dan banyak akalnya. Makanya bapak pilih jadi istri bapak”.
“Walah wong bapak kecele kok, kendel (diam) disik tho pak,” kata ibu menanggapi komentar bapak.
Ibu sambil tersenyum bercerita lagi : “Ora wuk (tidak nak), Ibu cari akal, bagaimana cara memberi makan tanpa harus berpuasa dan makan bubur. Di halaman rumah, ibu tanami cabe, tomat, terong dan beberapa bumbu dapur, seperti jahe, lengkuas, jeruk.”
“Tapi kan nggak bisa langsung dipanen bu,” kata saya.
“Sambil menunggu panen ibu irit banget blonjone, sudah mau habis gajinya, untung cepet panen cabe, soale ibu beli bibitnya wis rodo gede, ibu beli tempe, ibu bikin lodeh tempe tapi cabenya banyak dan kuahnya ibu banyakin,” ibu menjelaskan.
Saya menyela cerita ibu : “Lak cabenya banyak pedes banget tho bu”
Ibu tersenyum : “Memang itu maksudnya, ben pedes dadi ora dientekke. Kabeh podo maem, kata om-om lan tante tante mu, ‘pedes mbakyu… ning enak’. Lauknya satu saja tapi makan banyak semua. Kamu tau wuk, esukke (paginya)”… ibu tidak bisa menahan tertawa terkekeh-kekeh.