INDEF: Utang Ditumpuk, Impor Merajala

Redaktur: ME. Bijo Dirajo

JAKARTA — Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M.Rizal Taufikurahman mengatakan, utang jika digunakan untuk kegiatan produktif seharusnya dapat mempercepat peningkatan output nasional, hingga akhirnya akan mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.

Namun nyatanya, kata Rizal, impor meningkat dan tidak mampu dikompensasi oleh peningkatan ekspor.

“Ya utang ditumpuk, impor merajalela. Ini menggambarkan lemahnya kemandirian ekonomi nasional,” kata Rizal di kantor INDEF, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Menurutnya, Indonesia mengimpor berbagai jenis produk, baik untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi. Padahal, bahan-bahan tersebut sebagian besar berasal dari komoditas ekspor Indonesia, yang telah diolah di negara lain.

Sepanjang awal 2018, sebut Rizal, impor Indonesia meningkat 26,58 persen year on year (y-o-y), sementara ekspor hanya meningkat 10,13 persen (y-o-y). Hal ini menyebabkan terjadinya defisit neraca perdagangan.

“Peningkatan impor yang besar ini disebabkan oleh maraknya impor barang konsumsi yang tumbuh menggila hingga mencapai 44,30 persen (y-o-y),” jelas dia.

Tingginya impor ini juga kata dia, akibat lemahnya pengendalian impor (Non Tariff Measures) pasca penerapan FTA (Free Trade Agreement) atau perjanjian perdagangan bebas.

Dalam berbagai situasi, pemerintah juga seringkali menempuh strategi impor untuk memenuhi kebutuhan mendasar. Seperti beras, bawang, dan garam. Kondisi yang demikian kata Rizal, menggambarkan buruknya tata kelola ekonomi domestik, yang pada gilirannya berdampak pada kebijakan jangka pendek.

Begitu pula berbagai keperluan untuk menunjang pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang pemerintah, juga lebih kental aroma impor ketimbang memprioritaskan industri dalam negeri.

Lihat juga...