Swasembada Pangan, Kedaulatan dan Harga Diri Bangsa

Namun yang terjadi malah hal sebaliknya, dalam rentang waktu 3 tahun hal itu diucapkan, impor beras masih terus dilakukan tanpa ada formulasi yang tepat bagaimana mewujudkan swasembada pangan, dan paling miris adalah kabar mengenai kematian balita Suku Asmat di Papua akibat gizi buruk, bahkan pada data Organisasi Pangan Dunia (FAO) PBB di tahun 2015 menyebutkan masih terdapat sekitar 19,4 juta orang Indonesia mengalami kelaparan.

Jika kita berkepribadian sebagai sebuah bangsa yang konsisten antara ucapan dan perbuatan, tentu hal-hal tersebut tak akan terjadi. Pembangunan harus direncanakan sematang mungkin, berkelanjutan dan berkesinambungan ditambah dengan kemauan kuat dari pemimpin dan segenap elemen bangsa untuk mencapai cita-cita dalam pembangunan, sejahtera, makmur dan adil.

Bukan tak mungkin jika kita tidak memihak apa yang Bangsa Indonesia miliki secara kodrati, seperti kaya sumber daya alam dan luas lahannya. Maka hal-hal seperti negara agraris, maritim dan sebagainya hanya akan menjadi mitos yang terus diagungkan dalam sejarah dan cerita dongeng guru-guru pada anak cucu kita nantinya. Tentu kita tak ingin masa depan Bangsa Indonesia yang terus mengagungkan kebesaran masa lalunya.

Maka mulailah fokus dalam pembangunan dan bersungguh dalam pekerjaan kemanusiaan untuk Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. ***

Rezha Nata Suhandi, peneliti muda di Sang Gerilya Institute dan juga kader Praja Muda Beringin.

Lihat juga...