Swasembada Pangan, Kedaulatan dan Harga Diri Bangsa

Hal tersebut berkorelasi positif dengan teori penawaran ekonomi yang mengisyaratkan jika penawaran terhadap suplai produk meningkat, maka harga akan mengalami penurunan.
Penurunan harga yang terjadi secara sistematis tidak hanya akan berpengaruh kepada harga eceran tertinggi di tingkat pedagang maupun konsumen, namun juga harga jual yang rendah pasti akan ikut dideritakan para petani.

Jauh-jauh hari Presiden ke-2 RI melalui Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) sudah menyasar akan membentuk pembangunan yang seperti apa. Maka pembangunan sektor pangan menjadi prioritas dalam setiap rencana pembangunan. Intensifikasi pertanian dan riset untuk menciptakan bibit unggul digalakkan kala itu.

Para petani padi dibina mengenai kiat produksi hingga sampai pada tataran penjualan gabah, petani sejahtera dan rakyat bahagia. Fokus pengelolaan pertanian seperti yang dilakukan Pak Soeharto dan Orde Barunya dapat dirasakan pada tahun 1984, ketika Indonesia untuk pertama kalinya berhasil melakukan swasembada pangan terutama beras.

Maka Presiden Soeharto diganjar oleh berbagai macam penghargaan dunia atas prestasinya di bidang pangan pada tahun-tahun tersebut. Bahkan Indonesia sempat menyumbang beras untuk negara yang terdampak kelaparan kala itu. Presiden Soeharto sadar, bahwa sebagai negara dengan pemilik lahan pertanian terbesar dan tersubur yang terlintasi garis khatulistiwa, marwah, kehormatan juga harga diri bangsa dipertaruhkan dari sektor pangan.

Lalu bagaimana Indonesia di masa sekarang? Tidak ada fokus dalam melakukan pengelolaan pangan. Kebijakan yang muncul adalah kebijakan populis karena hanya menyasar permukaan untuk mendapatkan tepuk tangan dari pandangan mata. Kebijakan yang ada di akar rumput sesungguhnya tidak strategis dan malah akan mengancam kedaulatan juga ketahanan pangan Indonesia pada 10 atau 20 tahun mendatang.

Lihat juga...