Swasembada Pangan, Kedaulatan dan Harga Diri Bangsa

Pembangunan adalah sebuah keniscayaan katanya, maka pembangunan tak bisa dihindari dampaknya. Pun begitu dengan modernisasi yang sudah merambah hingga ke pelosok desa tempat lumbung padi disemai. Maka lahan-lahan pertanian produktif mulai mengalami masa kritis ketika pembangunan masuk tanpa mengindahkan bagaimana kesinambungan dapat tercipta dari variabel pembangunan. Lahan pertanian berubah wajah menjadi gedung tinggi atau mungkin pabrik tempat produksi barang mentah menjadi barang jadi.

Lalu kemudian kita semua lupa, bahwa pabrik manufaktur tempat produksi barang jadi membutuhkan pasokan bahan baku. Sementara bahan baku manufaktur dihasilkan dari lahan-lahan yang memproduksi pangan dan lainnya. Apa pembangunan dan modernisasi sekejam itu?

Jalan keluarnya adalah melakukan impor pangan guna mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tidak ada pembangunan yang berkelanjutan dan mengindahkan kesinambungan alam disini. Bagian terpenting dari sebuah pembangunan nyatanya adalah kapitalisasi dan konsumerisme bar-bar, menurut orang terpelajar. Diluar dari itu semua hanya lah serbuk-serbuk kapitalisme yang bisa menjadi penghambat berputarnya modal.

Padahal, Presiden Jokowi ketika melakukan sambutan di penghargaan Adhikarya Pangan Nasional di Kabupaten Subang, Jawa Barat pada tanggal 26 Desember 2014 menyatakan malu jika Indonesia yang merupakan negara kaya dan luas masih melakukan impor beras. Namun memang tampaknya sindrom amnesia sudah menjangkiti berbagai elemen bangsa ini, tak terkecuali dengan para pemegang kebijakan tertinggi di negeri ini. Saat itu juga disampaikan janji dalam 3 tahun untuk dapat kembali melakukan swasembada pangan.

Lihat juga...