Swasembada Pangan, Kedaulatan dan Harga Diri Bangsa

OLEH REZHA NATA SUHANDI

Ada 2 hal yang sejak dahulu kita pelajari dan itu menjadi identitas Bangsa Indonesia hingga kini. Yakni Indonesia sebagai negara maritim, karena memiliki perairan laut yang luas dan Indonesia sebagai negara agraris atau negara yang berdasarkan pada pertanian. Untuk identitas sebagai negara agraris, tampaknya harus kita pertanyakan ulang keberadaannya.

Atas dasar apa sejak dahulu kita diajarkan oleh guru-guru kita, bahwa Indonesia ini adalah negara agraris, tetapi ternyata kemampuan kita dalam mengelola produksi pangan bisa dikatakan gagal?

Jika kita merunut pada era Orde Baru, dimana Indonesia memiliki kemampuan swasembada pangan dan pertanian, identitas tersebut pantas disematkan kepada bangsa Indonesia kala itu. Namun pasca era reformasi, kita yang masih limbung mengenai arah pembangunan bangsa, mengalami sedikit amnesia terhadap identitas yang melekat pada bangsa kita.

Jika kita memang negara agraris, kenapa kita tidak bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dari pertanian yang telah dilakukan?

Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai keinginan pemerintah untuk melakukan kebijakan impor pangan mengemuka ke permukaan, setelah beras, kini impor garam pun dilakukan, padahal Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, dengan berkah tersebut Indonesia berpotensi menjadi penghasil garam terbesar di dunia. Lantas, apa yang mendasari kebijakan tersebut keluar?

Kebijakan impor beras adalah hal yang secara gamblang merugikan petani padi. Pasalnya, jika pemerintah melakukan impor pada saat komoditas beras mengalami surplus produksi seperti apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian RI, maka hasilnya adalah harga jual gabah atau beras akan mengalami penurunan di pasaran.

Lihat juga...