Peranan Penting Pak Harto dalam Peristiwa Pembebasan Irian Barat

Perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York, pada 15 Agustus 1962. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Wakil Perdana Menteri, sedangkan Belanda diwakili oleh Van Roijen, dan Schurmann.

Perundingan ini menghasilkan Persetujuan New York yang berisi tentang: UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Saat itu, UNTEA tiba di Irian Barat untuk melakukan serah terima kekuasaan dari pemerintah Belanda. Sejak saat itu, bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB, pada 1 Oktober 1962.

Ada beberapa isi perjanjian dari peristiwa tersebut. Pertama, yaitu penghentian permusuhan. Kedua, UNTEA akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun militer. Tenaga militer digunakan sebagai penjaga keamanan bersama putra Irian Barat sendiri. UNTEA juga akan memakai sisa-sisa pegawai Belanda yang diperlukan. Ketiga, Pasukan Indonesia tetap tinggal di Irian Barat yang berstatus di bawah UNTEA.

Sedangkan isi perjanjian keempat, yaitu Angkatan Perang Belanda dan pegawai sipilnya berangsur-angsur dipulangkan dan harus selesai paling lambat 11 Mel 1963. Kelima, Bendera Indonesia mulai berkibar 31 Desember 1962 di samping bendera PBB.

Pemerintah RI menerima pemerintahan di Irian Barat dari UNTEA pada tanggal 1 Mei 1963. Keenam, pada tahun 1969, diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau L’cpera (Ascertainnient of the WisIie of the People). Ketujuh, antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas.

Pelaksanaan PEPERA itu berjalan sesuai rencana dan jadwal kegiatan, dalam kesepakatan New York. Pada tahun 1969, diselenggarakanlah Pepera yang disaksikan utusan Sekretaris Jendral PBB. Penyelenggaraan Pepera melalui tiga tahap, yaitu tahap konsultasi, pemilihan anggota dewan musyawarah, dan tahap pelaksanaan Pepera.

Lihat juga...