Ujian Garis Tangan Kepemimpinan Airlangga Hartarto

OLEH REZHA NATA SUHANDI

DALAM rentang sejarah panjang Partai Golkar, baru kali ini dalam satu periode kepemimpinan yang berjangka 5 tahun, telah terjadi 3 kali proses Munas maupun Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).

Munas maupun Munaslub digelar untuk menentukan pucuk pimpinan yang baru, dalam sistem kepartaian kita mengenal sosok Ketua Umum Partai. Artinya dalam rentang waktu tersebut, Partai Golkar telah berganti nahkoda sebanyak 3 kali.

Melewati fase kritis, kini Airlangga Hartarto melalui mekanisme rapat pleno DPP Partai Golkar mengisi kekosongan jabatan Ketua Umum tersebut, dan untuk pemilihan hingga sampai pada mekanisme pengukuhan Ketua Umum Partai Golkar, akan digelar kembali Munaslub pada 18-20 Desember 2017 mendatang.

Airlangga Hartarto yang memegang kemudi sekarang, setelah dirinya kalah pada Munaslub Partai Golkar 2016. Tampaknya garis tangan kepemimpinan seorang Airlangga tidak bisa tidak, harus menemui takdirnya. Takdir untuk memimpin Partai Golkar mengarungi samudra deras kancah perpolitikan Indonesia.

Airlangga Hartarto belakangan dianggap mumpuni dan mampu membawa Partai Golkar keluar dari keterpurukan elektabilitas suara yang anjlok. Tak main-main, bahkan Airlangga ditunjuk, didukung dan diusung oleh lebih dari 30 DPD 1 yang memiliki hak suara untuk mendorong Munaslub terjadi dan mendapuk Airlangga sebagai pimpinan tertinggi di Partai Golkar.

Airlangga dianggap sebagai figur yang tepat, karena dirinya merupakan sosok yang egaliter, bersih dari segala tindak pidana korupsi, dan faktor terpenting adalah Airlangga dilihat sebagai simbol kedekatan Partai Golkar dengan penguasa atau rezim. Pasalnya, Airlangga Hartarto kini diamanahkan jabatan sebagai Menteri Perindustrian pada kabinet kerja Pemerintahan Joko Widodo.

Lihat juga...