Menurutnya, orang-orang sekarang ini sebagian ada yang paham mengenai ras kalau definisi ras secara utuh. Jika definisi ras secara aplikasi banyak yang tidak paham, yang mereka paham adalah mereka itu dari mana, dari suku apa, makanya sering orang diputarbalikkan dengan istilah rasis.
Dari istilah rasis, apakah mau orang Jerman perdana menterinya orang Amerika? Apakah mau orang-orang Jerman dipimpin oleh orang Amerika? Tentu, mereka tidak akan mau dan menolak. Contoh inilah yang disebut ras.
Ras itu sendiri, lanjut Eko, memiliki ciri khas, identitas, dan jati diri. Indonesia sendiri merupakan ras Indonesia yang berdasarkan pemahamannya harus melihat kembali sejarah, jangan semua merasa bangsa Indonesia, hadir di Indonesia, terus menjadi warga negara Indonesia.
“Tidak seperti itu. Semua ada sejarahnya, jangan langsung memiliki atau berhak atas wilayah tersebut berdasarkan kehidupan, latar belakang, dan sikap hidup yang di sepakati di wilayah tersebut”, katanya.
Eko memberikan contoh lagi, misal ingin mengambil keturunan Chinese atau pun keturunan lainnya untuk gubernur atau pun presiden di DKI, jelas harus paham tentang Jakarta, jangan malah mencerminkan jangankan ke-Jakarta-an, ke-Indonesia-an saja, tidak. Contoh lain, misalnya di Surabaya yang merupakan kota besar keturunan Chinese banyak di sana, tetapi apakah ada wali kota Surabaya orang Chinese?
“Kenapa tidak ada? karena ras dan pemikiran di sana tegas, jelas, dan pola pikir masyarakat Surabaya bisa terlihat, mereka berpikir kalau Surabaya ya, Arek-arek Surabaya, kalau Medan ya Batak, Makassar yang pasti suku Bugis, dan di sini perlu dipertegas, bahwa ini dilihat berdasarkan bukan dari sisi agama”, beber Eko.