CERPEN SARONI ASIKIN
“BISMA akan mati oleh seorang wandu pada suatu peperangan. Kau harus menyaksikan saat-saat kematiannya setelah kematianku, Grati. Dan arwahku akan tersenyum.”
Beberapa kali dia datang ke rumahku dan baru saat kedatangannya pada petang itu kudengar kata-katanya. Biasanya sejak datang hingga pergi lagi, mulutnya selalu terkunci. Juga selalu dengan pakaian warna jingga yang telah luntur, kusam, dekil, dan berbau daun busuk.
Mukanya yang sudah keriput itu juga selalu tampak muram. Tak sekali pun aku pernah melihatnya tersenyum. Kadangkala, ketika dirinya makan dan menyeruput teh, tetap tanpa kata-kata, aku memandangi wajahnya. Meskipun samar, aku melihat jejak keelokan di situ. Sesekali bila kami bersipandang, kulihat mata tuanya masih memperlihatkan riap keindahan. Hanya saja, aku menangkap nyala kenyalangan di dalamnya, bagaikan orang yang memendam suatu amarah.
Tapi entahlah. Aku tak merasa perlu membayangkan bahwa ketika seusiaku, dia dara yang molek. Aku juga tak merasa perlu membayangkan kemungkinan kisah hidupnya dipenuhi amarah terpendam. Aku lebih suka mengira dirinya hanya seorang sadhavi. Itu sebabnya Grati, ibuku, selalu menyambutnya dengan penuh hormat dan menjamu dengan makanan yang kami punya serta secawan kecil teh. Aku juga menunjukkan rasa hormatku kepadanya sebab kami diajari para pendeta untuk selalu menghormati para sadhu dan sadhavi. Juga para sanyasi dan sanyasini, swami dan swamini.
Aku tak ingat pasti apakah malam itu adalah kedatangan terakhirnya ke rumahku sebab aku tak terlalu memikirkannya. Rumahku sering didatangi orang-orang seperti dia. Mungkin karena itu pula aku tak pernah menanyakan jati dirinya kepada ibuku.