SURABAYA – Rasa khawatir adanya risiko dari sebuah penerapan kebijakan baru, memang wajar terjadi, Namun, perlu disadari setiap kebijakan yang akan diterapkan pasti sudah mempunyai ukuran dalam meminimalkan risiko tersebut.
Seperti halnya kebijakan transaksi wajib nontunai atau otomatisasi di sejumlah gerbang tol di Indonesia yang akan diterapkan pada Oktober 2017. Rencana kebijakan pemerintah itu menuai protes dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), karena berisiko adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 20.000 pekerja tol di Indonesia.
Presiden KSPI, Said Iqbal, meminta pemerintah membatalkan kebijakan otomatisasi gardu tol pada Oktober 2017, karena berisiko meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.
Dengan otomatisasi gerbang tol, pasti para perusahaan yang mengelola jalan tol akan melakukan PHK terhadap para pekerja gardu tol, dan perlahan namun pasti akan tergantikan dengan sistem tersebut. “Ini hanya masalah waktu saja, kata dia, di Jakarta, Sabtu (16/9/2017).
Namun, dari sisi kemajuan teknologi, penerapan otomatisasi di gerbang tol Indonesia sudah menjadi keharusan, karena sebagian besar negara di ASEAN sudah menerapkan hal serupa, bahkan tidak hanya untuk pembayaran tol.
Seperti halnya di Filipina, beberapa gerbang tol di negara itu malah lebih maju selangkah. Mereka menerapkan transaksi pembayaran tol melalui sensor. Hal tersebut sebenarnya juga telah disediakan di beberapa gerbang tol Jakarta, atau lebih dikenal dengan On Board Unit (OBU) atau e-Toll Pass.
E-Toll Pass ini merupakan teknologi selangkah ketimbang transaksi nontunai yang ada selama ini, karena sisten pembayarannya menggunakan sensor. Jika yang selama ini pengguna tol dalam membayar transaksi nontunai perlu bertransaksi fisik, namun apabila menggunakan sensor tanpa perlu bertransaksi fisik, atau pengendara bisa terus melaju tanpa berhenti di gerbang tol.