Akan tetapi, Sunarti pun tidak tinggal diam, ia pun mencoba berlajar sedikit demi sedikit bahasa daerah setempat, dengan para guru dan sahabat yang merupakan masyarakat asli Sasak. Bahkan dengan nada candanya, Sunarti rasanya perlu untuk memegang kamus bahasa Minang terutama untuk Bahasa Sasak, agar proses mengajarnya semakin efektif.
“Kalau di dalam kelas, saya memang menjadi guru. Tapi kalau mau belajar bahasa Sasak, saya yang belajar ke siswa/siswi saya itu,” katanya.

Sejauh ini, dalam hal ia menjadi Guru Garis Depan di Sasak, Sunarti menilai, dengan mata pelajaran Kimia yang ia ajarkan, meski anak-anak tersebut berada di daerah yang terjauh, tetapi mereka bisa paham.
Dengan satu rumus dalam setiap pertemuan, dan langsung diberikan soal ujian, dengan mudah mereka menjawab soal-soal yang diberikan. Memang tidak dipungkiri, masih ada beberapa orang siswa/siswinya yang masih lambat untuk memahami pelajaran Kimia yang ia sampaikan. Namun ia menilai, yang namanya pendidikan di bangku sekolah, butuh proses dan kesungguhan dalam belajar.
Hari-hari demi hari yang dilalui perempuan kelahiran 30 September 1988 itu, memang lebih banyak di sekolah. Namun, di sela-sela waktu senggang, Sunarti pun tetap berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di Papua Barat.
Komunikasi yang dilakukan hampir setiap harinya. Hal yang demikian ia lakukan, karena sampai saat ini ia masih merindukan keluarga dan kampung halamannya yang berada di ujung arah selatan Indonesia.