Sementara itu, salah satu peserta aksi, Aris Prasetyo, menambahkan, salah satu yang melatarbelakangi penolakan full day school adalah karena aturan ini akan mengancam keberadaan Madrasah Diniyah, khususnya di Jawa Tengah.
“Jika aturan full day school ini diterapkan, maka anak sekolah akan pulang sore. Padahal, kegiatan pembelajaran di Madrasah dan pesantren dilakukan pada sore hari setalah pulang sekolah, sehingga aturan ini sangat merugikan pihak Madrasah Diniyah dan Pesantren, khususnya yang ada di Jawa Tengah. Sedangkan jika aktivitas pembelajaran di Madrasah Diniyah atau Pesantren baru dilakukan malamnya, tentu itu akan memberatkan anak sekolah, karena jadwal belajar yang terlalu padat”, ujar Aris.
Selain itu, menurut Aris, masalah pendidikan karakter selama ini juga sudah di-back up oleh Madrasah Diniyah dan Pesantren. Sehingga seharusnya pemerintah mendukung adanya Madrasah Diniyah dan Pesantren, bukan malah seolah ingin menghapuskan keberadaan Madrasah diniyah dan Pesantren yang selama ini terbukti berhasil melakukan pendidikan karakter bagi anak-anak Indonesia.
“Saya berharap bahwa aspirasi kami dalam menolak full day school ini dapat didengarkan oleh para pemangku kebijakan dan ditanggapi dengan baik. Kami juga berharap Gubernur Ganjar Pranowo ikut mendukung aksi kami dalam menolak full day school”, katanya.
Menurut Aris, untuk masa aksi sendiri tidak hanya berasal dari Kota Semarang. Melainkan berasal dari Kota/Kabupateng se-Jawa Tengah, seperti Kendal, Demak, Batang, Pekalongan dan sekitarnya.
Ribuan massa melakukan aksi damai menolak full day school diawali dengan sholat Jumat di Masjid Baiturrahman Semarang. Kemudian long march di Jalan Pahlawan menuju Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah.