SELASA, 11 APRIL 2017
JAKARTA — Jakarta International Container Terminal (JICT) merupakan aset bangsa yang sangat strategis semestinya dikelola oleh negara, karena Pelabuhan terbesar di Indonesia itu sebagai pintu keluar masuk ekspor impor dan gerbang ekonomi nasional.
![]() |
Suasana seminar penyela atan aset nasional. |
“Jadi, aset negara itu dikelola secara mandiri, sebagai wujud kedaulatan ekonomi negara,” ujar Ketua Serikat Pekerja JICT, Nova Sofyan Hakim, dalam seminar “Penyelamatan Aset Nasional, Global Bond dan Perpanjangan Kontrak JICT Yang Berpotensi Merugikan Negara”, di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, (11/4/2017).
Jika dikelola sendiri, jelas Nova, maka Negara melalui BUMN yang mengelola pelabuhan akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar. Oleh karena itu, dengan masuknya pihak asing dalam pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok melalui kerjasama antara JICT dengan Hutchinson yang kontraknya berakhir pada 2019, tidak terlalu mendesak.
Namun, ternyata kontrak tersebut diperpanjang hingga 2039. Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN yang notabene belum dipenuhi Pelindo II, tanpa izin konsesi otoritas pelabuhan dan Menteri Perhubungan (Menhub).
Dirut RJ Lino saat itu, bahkan nekat memutuskan untuk menandatangani perpanjangan kontrak dengan Hutchinson. RJ Lino saat itu bahkan, membuat perpanjangan kontrak JICT secara sepihak, hanya dengan modal dukungan dari Menteri BUMN Rini Soemarno.
“Perpanjangan kontrak tersebut menabrak peraturan perundangan, antara lain UU tentang BUMN yang menyebutkan bahwa tidak ada nomenklatur tentang izin prinsip yang dikeluarkan oleh Menteri BUMN,” pungkasnya.