Pria jebolan IIP Malang tahun 1974 ini selalu teringat pesan sang nenek seorang panglima perang yang selalu dikenangnya. Nenek Woda berpesan padanya, dalam hidup ini jangan sampai ada tamu yang datang menagih hutang, jangan berhutang. Dan kalau harus berhutang, bayar pada saatnya.
Yang kedua pesan nenek Woda, barang milik orang lain, lihat saja tidak boleh apalagi kepingin. Tapi kalau kau punya barang dan diambil orang maka harus dilawan.
“Jadi intinya untuk menjadi pemimpin yang bisa melayani dengan bbaik, selain pendidikan, peran keluarga dan iman yang kuat sangat penting selain pengetahuan manajemen kepemimpinan,” tuturnya.
Pak Dan berkisah, saat ada peluang melanjutkan pendidikan di Jakarta tahun 1958, semua pegawai diminta kumpul ijasah dan di rapor SMA miliknya, nilai tata bukunya 10 sehingga dirinya dibuatkan surat untuk bersekolah di akademi keuangan di Jakarta.
Suami dari Maria Wilhelmina Kaunang ini pun menghadap kepala daerah Flores, Monteiro dan ditanya mana SPJ nya. Saat membaca surat tersebut, Monteiro merobek kertas SPJ tersebut dan mengatakan dirinya tidak ada potongan orang keuangan dan seharusnya sekolah politik.
“Ia langsung menelpon Menteri Dalam Negeri agar saya juga bisa sekolah di KDC Makassar, sehingga saya pun bisa menempuh pendidikan politik di Makassar,” terangnya.
Pak Dan mengingat apa yang dikatakan pak Monteiro dan sebelum menjabat bupati melakukan survei kepala keuangan di tiga kabupaten di Flores dengan menanyai orang, melihat cara kerjanya dan ketemu langsung. Ayah 5 orang anak ini pun menyimpulkan, ternyata dari tiga kepala keuangan ini semuanya memiliki tiga kesamaan yakni pendiam, tidak suka banyak bergaul dan kikir.