Bandung Kota Inovasi

MINGGU, 1 MEI 2016

CATATAN PERJALANAN—Entah untuk yang keberapa kali, 10-11 April 2016 lalu saya berusaha “menyejiwa” dengan kota Bandung, di sela-sela acara yang harus saya datangi. Kali ini saya mencoba menyelami “dinamis-kreatif” nya sepanjang jalan Dipatiukur, sekitaran Kampus Universitas Padjadjaran lama, di tengah suasana yang sesekali diguyur hujan. Apa soul (jiwa) dari kota —yang dijuluki “Paris van Java”, “Ibukota Asia Afrika”, “Kota Kembang”, dan lain-lain sebutan— namun kini —sebagaimana juga terjadi di kota-kota besar Indonesia lainnya— disandera kemacetan akut itu? Betulkah segala julukan itu menggambarkan soul kota Bandung yang sebenarnya. Ataukah label-label itu hanya sedikit pantulan dari potensi kreatif dan dinamis masyarakat Bandung?. Adakah soul yang belum tergambar dari label-label yang sudah melekat secara tradisional itu?
Paradigma pembangunan sebelum era tahun 1980-an menekankan potsulat, “kemakmuran sebuah wilayah ditentukan topangan kekayaan sumber daya alamnya”. Potsulat itu mengalami paradigm shift (pergeseran paradigma) pasca era tahun 1980-an yang menekankan, “kemakmuran sebuah wilayah tergantung cara mendefinisikan, sekaligus menginovasi, masa depan kemajuan dan kemakmuran wilayah itu “. 
Bandung memenuhi dua posulat itu. Ia memang sejak lama merupakan hinterland (pusat perinteraksian utama) Provinsi Jawa Barat yang dikenal subur sumber daya alamnya. Bandung juga merupakan simbol lokomotif kesadaran budaya bernama Tatar Pasundan yang berusaha tampil dengan kreatifitas, originalitas dan kemandirian budayanya. 
Bandung juga memiliki lembaga-lembaga pendidikan tinggi papan atas, seperti ITB, yang buah gagasan inovatifnya tentu meresonansi corak berfikir masyarakat Bandung. Ketiga hal itu menjadikan Bandung bukan saja memiliki potensi given (melekat) yang dengan sendirinya menjadi sandaran jalan kemakmuran warganya, namun juga memiliki tradisi inovasi oleh keteguhan kesadaran budaya yang ditopang tradisi akademik dengan wawasan kemajuannya.
Dua hal terakhir, kesadaran kemandirian budaya dan tradisi akademik –dengan segala kesadaran akan inovasi kemajuan dan kemoderenan—, menjadi pemerkaya potensi given Kota Bandung dan sekitarnya, dalam tetap memperteguh eksistensinya sebagai kota yang terus bergerak maju dalam pijakan kuat budaya yang dimilikinya. Walaupun label-label lama seperti “Paris van Java”, “Kota Kembang”, “Ibu Kota Asia Afrika”, hari-harinya kini terpenjara oleh kemacetan akut, Bandung tetap menjadi salah satu kota di Indonesia paling bergairah dalam menatap kemajuan dan keberadaaannya diminati para penyuka keindahan. 

Kesadaran kemandirian budaya dan tradisi akademik, telah menjadikan masyarakat Bandung sebagai masyarakat inovatif yang bergerak secara kolektif dimana masing-masing menyumbangkan pada gerak kemajuan. Tentu tidak salah jika Kota Bandung kita tambah label lagi sebagai kota inovatif.  

“Inovasi” dalam pijakan “Kesadaran Kemandirian Budaya Sendiri” namun terbuka dengan “Sentuhan Kemoderenan”, merupakan soul Kota Bandung. Hal itu tampak dari dinamika kreatif masyarakatnya memberi respon dan makna baru dalam mempertahankan citra positif kemegahan peradaban kota Bandung yang telah lama terbentuk sebelumnya. Hal itu menjadikan label-label lama —seperti “Paris van Java”, “Kota Kembang”, “Ibu Kota Asia Afrika”, dan lain-lain, dengan segala citra keindahan performanya— tetap melekat dan terus berkumandang nyaring secara meluas baik di dalam negeri maupun dunia luar, di tengah kondisi-kondisi yang telah berubah (dihajar kemacetan akut, sebagian tempat tidak dingin lagi, kawasan-kawasan bukit berbunga menjadi bukit rumah dan beton, dan lain-lain).

Bandung merupakan salah satu dari sedikit daerah di Indonesia (selain Yogya dan Bali) yang berhasil mentransformasikan kesadaran kemandirian budaya masyarakatnya menjadi ketahanan ekononi. 

Kesadaran budaya di tiga tempat di Indonesia itu berhasil mengkapitalisasi kesadaran budaya masyarakatnya sebagai captive market dari inovasi-inovasi kreatif berbasis budaya masyarakatnya. Masyarakat di tiga tempat itu tumbuh sebagai produsen karya-karya inovatif dan bukan hanya menjadi konsumen dari inovasi yang datang dari wilayah luarnya saja. Bahkan Bandung, dan dalam skala luas Jawa Barat, mampu menjajakan produk inovatifnya, termasuk yang bernuansa ke-Sunda-an ke dalam jaringan pasar lebih luas. Hal ini beda dengan masyarakat BODETABEK (daerah penyangga Kota Megapolitan Jakarta), yang masyarakatnya terbentuk sebagai masyarakat pekerja yang juga konsumtif. Budaya mereka (warga Bodetabek) kebanyakan dibentuk oleh budaya pekerja karena eksistensi mereka sebagai karyawan di perusahaan perusahaan yang bertebaran di area Kota Megapolitan.
***
Bentuk respon kreatif masyarakat Bandung dalam menyambut masa depan kemajuannya tampak dari inovasi-inovasinya di banyak lapangan ekonomi kreatif.
Pertama, inovasi kuliner dan wisata kuliner. Selain banyak varian produk kuliner (baik yang tradisional maupun baru), bernuansa etnik Sunda maupun kuliner yang datang dari luar, Bandung banyak memiliki cafe-cafe, yang dikemas artistik. Keberadaan destinasi kuliner ini tumbuh hampir di setiap tempat di Bandung. Hal ini menandakan gerak dinamis masyarakatnya dalam menyajikan cita rasa dan sensasi kuliner yang sangat variatif, dari budaya kuliner lama sampai budaya kuliner terbaru, bagi pada pendatang dari Bandung. Gerak kreatif masyarakat Bandung dalam lapangan kuliner telah selalu berhasil mengusir kebosanan bagi para pendatang yang telah berkali-kali datang atau bahkan bagi orang-orang yang menetap di Bandung. Bandung selalu mampu menyajikan “kemudaan selera” dalam hal kuliner.
Kedua, Inovasi Rendezvous. Masyarakat Bandung tampak sekali berpacu inisiatif menyediakan fasilitas-fasilitas rendezvous bagi siapapun yang hendak berlama-lama menimati suasana Bandung. Baik inisiatif skala korporasi, maupun inisiataif skala kecil dari masyarakat, di hampir semua penjuru wilayah Bandung. Mereka tampak berlomba menunjukkan kepada siapapun bahwa Bandung memiliki tempat tempat santai yang unik di semua tempat. Masyarakat Bandung sepertinya sadar bahwa kekuatan kemakmuran mereka terletak pada ketidakbosanan siapapun (baik pelancong maupun penduduk Bandung sendiri) terhadap keunikan setiap jengkal sudut-sudut wilayahnya. Maka tampak sekali gairah penduduk kota Bandung untuk berkompetisi menjadikan setiap jengkal tempatnya, menarik, unik dan bersih. Tak heran jika kini tak sedikit bule (wisatawan eropa), tampak asik menyusuri jalan-jalan di Bandung dengan jalan kaki, bahkan berhujan-hujanan. Menikmati suasana komoderenan, keartistikan, keramahan yang masih menyatu dengan keasrian alam, suatu yang mungkin di negaranya kini sudah langka. Kelangkaan suasana itu pun bahkan menghampiri masyarakat Jakarta, sehingga Bandung merupakan tujuan “pelarian” paling dekat dan nyaman.
Inisiatif Walikota Ridwan Kamil membangun banyak taman, sejatinya merupakan pantulan budaya kreatif masyarakat Bandung itu sendiri. Spirit kreatifitas itu yang kemudian ditangkap oleh Ridwan dalam skala kebijakan dan menuangkannya dalam konsep tata kota yang menarik.
Ketiga, inovasi ecotourism. Bandung dikelilingi potensi ekonomi konvensional berupa pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan air tawar yang kaya. Melalui sentuhan-sentuhan kreatif, pengelolaan potensi-potensi tersebut diintegrasikan dengan paket-paket wisata yang dikemas menarik. Seperti paket-paket wisata strawberry garden, tea walk maupun paket-paket pelatihan yang menggunakan perkebunan, pertanian, perikanan sebagai laboratorium uji coba bagi pesertanya. Paket ecotourism juga dikombinasi dengan serangkaian paket wisata khusus, seperti outbond, wisata olah raga arus deras, off road, dan lain lain. Kombinasi dua potensi ekonomi — sumberdaya alam yang ada secara given— dan sentuhan kreatif melalui ecotourism menjadikan ekonomi konvensional dan ekonomi kreatif tumbuh beriringan saling menopang di Bandung. Lagi-lagi, dari kemerataan paket-paket ecotourism yang hampir dijumpai di semua sudut tempat di Bandung dan sekitarnya, ini mencerminkan daya inovatif masyarakat Bandung memaknai dan memberi sentuhan kreatif, sehingga potensi yang sudah ada, dibuat semakin bernilai secara ekologi, art, maupun ekonomi.
Keempat, inovasi Wisata Budaya. Secara tradisional, Bandung merupakan lokomotif dari upaya merawat originalitas warisan budaya Tatar Pasundan, yang budaya itu sangat kaya varian-variannya. Elan kreatif masyarakat Bandung khususnya dan masyarakat Jabar pada umumnya, beserta loyalitasnya yang tinggi pada kebudayaan sendiri, telah menjadikan seni dan budaya Tatar Pasundan tidak hanya terawat, akan tetapi terus tumbuh. Seni tradisional Tatar Pasundan tumbuh beriringan dengan seni etnik kontemporer maupun seni kontemporer itu sendiri yang hadir berbagi audiens secara harmonis. Kreatifitas inovatif dalam hal seni dan budaya masyarakat Kota Bandung telah tumbuh sebagai industri tersendiri yang beriringan dengan semakin berkembangnya industri pariwisata.,
Kelima, inovasi Wisata Konvensi. Bandung juga dikenal sebagai tempat yang nyaman sekaligus representatif bagi wisata konvensi. Hal ini buah dari kreatifitas kalangan pengusaha perhotelan Kota Bandung dalam mengkapitalisasi potensinya dengan penyiapan fasilitas akomodasi konvensi yang bukan saja memadai, akan tetapi juga varitif, baik dari skala maupun biaya. Maka tidak heran jika event meeting, workshop, maupun berbagai pelatihan berbagai intansi pemerintah pusat, mengambil tempat di Bandung. Tidak jarang berbagai intansi pemerintah dari daerah lain juga mengambil tempat studi banding, sekaligus pelatihan / workshop di Bandung.
Keenam, inovasi handicraft. Produk handicraft Bandung dan sekitarnya dengan segala pernik-pernik ke-Sundaan-nya yang original, bukan hanya diuntungkan olah loyalitas market masyarakat Bandung dan Jawa Barat sendiri, namun juga telah dikenal hingga manca negara. Indonesia memiliki banyak ragam budaya, dan salah satunya budaya Pasundan Jawa Barat. Handicraft produk Bandung dengan segala pernak-pernik khas etnis Sunda memiliki keunikan tersendiri, sehingga membentuk loyalis pasarnya sendiri. Selain nilai ekonomisnya dari penjualan ke luar wilayah (bahkan ekspor), beragam handicraft juga merupakan daya tarik bagi industri pariwisata dalam menarik wisatawan ke kota Bandung. Menyusuri pusat-pusat handicraft-nya, kita sudah bisa merasakan “aura Sunda” ketika menyusuri Bandung.
Ketujuh, inovasi Mode. Bandung sudah lama dikenal sebagai pusat mode, mulai skala kerakyatan hingga distro-distro yang mahal. Baju dengan segala pernik-perniknya merupakan salah satu kebutuhan primer setiap orang. Mode baju melekat dalam pemenuhan ekspresi diri melalui kebutuhan primer itu. Naluri kreatif masyarakat Bandung mampu mengkapitalisasinya melalui inovasi-inovasi mode, yang bukan hanya memasok kebutuhan pakaian bagi masyarakat Bandung, tapi juga memenuhi kebutuhan masyarakat di luarnya. Salah satu naluri kreatif masyarakat Bandung terpantul nyata dari inovasi-inovasi mode ini. Selain memasok kebutuhan luar, inovasi mode ini juga merupakan daya tarik wisata bagi kota Bandung, hanya sekedar berburu mode.
***
Banyak lagi jika hendak digali elan (semangat) kreatif masyarakat Bandung, yang kepada kota ini layak kita sematkan sebagai “kota inovasi”. Termasuk inovasi teknologi tinggi dalam bidang keteknikan, arsitektur, maupun multimedia, dan teknologi informasi yang dihasilkan para lulusan PT di Bandung. Tak banyak daerah di Indonesia mampu memerankan diri sebagai kota inovasi. Bandung merupakan salah satu dari sedikit kota yang mampu melakukannya.
Ada daerah yang dinamika ekonominya merupakan “ekonomi PNS” (digerakkan oleh belanja pegawai dan gaji PNS) dan ditopang oleh usaha pertanian tradisioonal. Ada pula daerah yang dinamika ekonominya sebagai “ekonomi karyawan” (digerakkan oleh belanja para karyawan dari perusahaan-perusahaan besar yang berdiri di daerah itu). Jika abad ini dikenal sebagai Abad Asia (pendulum ekonomi menuju Asia dan menjadikan Asia sebagai pusat pertarungan geoekonomi dunia) sekaligus abad inovasi (yang mampu menyajikan inovasi baru akan memenangkan kompetisi), maka dua tipikal terakhir —ekonomi PNS dan ekonomi karyawan — merupakan daerah-daerah yang tidak siap dalam persaingan global, termasuk menghadapi MEA yang sudah mulai dijalani ini. Bandung, satu dari sedikit kota Indonesia yang siap menghadapi MEA dan persaingan inovasi global.
Kelemahannya, Bandung belum mampu menginovasi sistem transformasinya yang lebih manusiawi dan tidak disandera macet. Jika ini bisa dipecahkan, label sebagai “Kota Inovasi yang Manusiawi”, dapat kita sematkan pada Kota Bandung. Monorel atau kereta gantung, barangkali bisa menjadi solusi bagi Kota Bandung. Tentu pakar-pakar transportasi dan perkeretaapian di ITB bisa memecahkan masalah ini. Kemegahan akademik harus memberi kemanfaatan nyata dalam mengurai problem masyarakat sekitarnya.
Selain kelemahan itu, Bandung juga dihadapkan pada ancaman berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis kepada orang asing —seperti apartemen, bungalow, villa— yang diatasnamakan penduduk lokal. Cerita-cerita kepindahan kepemilikan aset itu saya dengar dari sopir-sopir pengantar wisatawan mancanegara. Semoga spirit Pasundan menjadikan Bandung dan sekitarnya tetap memiliki kedaulatannya sendiri. 
Sampai bertemu dalam “Catatan Perjalanan” di kota-kota berikutnya…
***

Lihat juga...