MINGGU, 1 MEI 2016
YOGYAKARTA — Dalam gelar aksi unjuk rasa memperingati hari buruh internasional di Yogyakarta, Minggu (1/5/2016), turut bergabung dalam aksi tersebut puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Dengan berbagai poster yang di antaranya bertuliskan, ‘Jurnalis Juga Buruh’, mereka menuntut kesejahteraan dan kepastian jaminan sosial lainnya seperti kesehatan dan keselamatan kerja sebagaimana para buruh lainnya.
Dalam aksi peringatan hari buruh internasional, puluhan jurnalis AJI Yogyakarta juga turun ke jalan melakukan longmarch bersama ratusan buruh lainnya yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY). Dalam seruannya, AJI Yogyakarta mengingatkan, di tengah lonjakan industri media dengan hadirnya pemain baru terutama di dunia online, dan semakin mengguritanya kepemilikan perusahaan media di Indonesia, tak dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan bagi jurnalis, baik koresponden, kontributor maupun kemitraan lainnya.
Hingga kini, bahkan permasalahan gaji, jaminan sosial seperti kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, perumahan dan sebagainya masih belum terpenuhi. Padahal, semua itu merupakan syarat minimal yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja, sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan lainnya.
Karena itu, dalam momentum Hari Buruh ini, AJI Yogyakarta mengajak seluruh anggotanya untuk melakukan aksi guna mendorong perusahaan media menjadikan kesejahteraan jurnalis dan pekerja media sebagai prioritas, serta menghentikan segala pelanggaran ketenagakerjaan dengan dalih apa pun. Selain itu, AJI Yogyakarta juga meminta agar pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan lainnya turut aktif mengawasi perusahaan media dan jika perlu melakukan audit terhadap kondisi ketenagakerjaan di sektor media.
Sementara itu, Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta (ARPY) yang turut pula dalam aksi peringatan hari buruh, menyoroti aspek demokrasi saat ini yang menurutnya semakin dipersempit. Mereka beranggapan, sejumlah undang-undang terkait keormasan, keamanan nasional, penanganan konflik sosial semakin menutup ruang demokrasi. Dengan semakin sempitnya ruang demokrasi, menurut ARPY, semakin mempersulit para pekerja dalam memperjuangkan hak-haknya.
Menyempitnya ruang demokrasi tersebut, berjalan seiring dengan semakin masifnya neoliberalisme, yang berdampak pada semakin banyaknya buruh yang berupah rendah. Terlebih bagi para pekerja informal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Rumahan (PR), yang biasanya didominasi oleh kaum perempuan dan berpendidikan rendah setingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Pemerintah bahkan belum memberikan perlindungan bagi PRT dan PR, karena hingga kini belum juga meratifikasi sejumlah Konvensi International Labour Organization (KILO) Tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Informal seperti KILO Nomor 189 tentang PRT dan KILO Nomor 177 Tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumahan.
Padahal, menurut catatan ARPY, saat ini terdapat lebih dari 10,7 Juta Pekerja Rumah Tangga yang semuanya bekerja tanpa adanya perlindungan. Hal ini menyebabkan banyak PRT mengalami eksploitasi dan kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi, seksual dan sosial. Sementara itu, Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat sejak 2014 belum juga disahkan.
Untuk itu, ARPY menuntut agar pemerintah segera mensahkan RUU PRT, dan segera meratifikasi KILO No. 177 dan KILO No. 189 Tahun 1996, dan sebagainya. Aksi ARPY diikuti oleh berbagai ormas yang antara lain terdiri dari Paguyuban Buruh Gendong, Rifka Anisa, Forum Lembaga Swadaya Masyarakat dan banyak lagi. (Koko Triarko)