JUMAT, 25 MARET 2016
Jurnalis : Koko Triarko / Editor : ME. Bijo Dirajo / Sumber Foto: Koko Triarko
CATATAN JURNALIS — Pemerintahan Jokowi-JK sejak 2015 mencanangkan swasembada pangan. Berbagai program diluncurkan. Mulai infrastruktur hingga pemberdayaan petani melalui pendampingan dan penyuluhan. Dilain pihak, ada satu infrastruktur di bidang pertanian yang tak kalah penting, agak terpinggirkan peran dan nasibnya. Yaitu, pabrik pupuk.
![]() |
Sekretaris Perusahaan, M. Zain Ismed |
Salah satu infrasruktur penting yang lain dalam menunjang program Pemerintah di bidang kedaulatan pangan adalah pupuk. Maka, sejak zaman Orde Lama di tahun 1959, Pemerintah telah membangun pabrik pupuk, yaitu PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) di dekat Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Pemilihan tempat ini atas dasar pertimbangan ketersediaan bahan baku, antara lain air, udara dan gas alam.
Namun, hal yang menjadi berat bagi Pusri sejak dibangunnya pertama kali itu adalah keharusan membeli gas alam dari Pertamina dengan harga US Dolar. Hal itu kian dirasa memberatkan, ketika Pemerintahan Presiden Joko Widodo memutuskan harga bahan bakar dan minyak bumi sesuai dengan harga dunia. Padahal, gas alam sebagai salah satu bahan baku pupuk, tentu saja berdampak langsung terhadap Harga Pokok Penjualan (HPP) Pupuk.
Dengan kewajiban membeli gas alam dengan harga Dolar Amerika, Pusri saat ini semakin dibuat pusing karena harga gas alam yang berubah-ubah. Harga gas alam saat ini pun semakin dirasa memusingkan Pusri, karena ketika harga gas alam dunia turun, harga gas alam di dalam negeri justru naik.
Misalnya, pada saat harga gas alam di Amerika sebesar 3 US Dolar Per Juta British Thermal Unit (MMBTU), Pusri tetap harus membelinya dari Pertamina dengan harga 6 – 8 US Dolar per MMBTU.
Sementara itu, kontrak kerja Pusri sebagai anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pupuk Indonesia, sejak 10 tahun terakhir pasca reformasi ini, masa kontraknya diperpendek dari 10 tahun menjadi 5 tahun. Pendeknya masa kontrak itu semakin menyulitkan Pusri dalam menentukan program kerja.
Selain itu, juga sangat memberatkan beban keuangan, karena berpengaruh pada besarnya bunga kredit perusahaan yang harus ditanggung. Semua itu menjadi anomali di tengah semangat Pemerintah dalam upaya mewujudkan swasembada pangan.
Selain memberatkan pihak manajemen, anomali yang harus dialami Pusri juga dikhawatirkan akan mengancam keberadaan Pusri. Pasalnya, di tengah persaingan pasar bebas di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), sangat mungkin pupuk luar negeri bisa masuk ke Indonsia, dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pupuk dalam negeri.
Dengan beban biaya produksi dan operasional yang ditanggung Pusri sebagaimana dipaparkan di atas, ditambah kondisi pabrik yang sudah tua sehingga tidak efisien, sangat tidak mungkin bagi Pusri untuk membuat HPP Pupuk yang kompetitif.
Situasi tersebut semakin tampak menyedihkan lagi, tatkala kita membandingkan daya saing produksi pupuk dalam negeri dengan negara lain. Pusri, dengan kemampuan produksi pupuk Urea sebanyak 9,5 Juta Ton pertahun, terpaut jauh dengan kemampuan produksi pupuk Urea Negara China yang mampu menghasilkan sebanyak 77 Juta Ton Per Tahun. Apalagi, dari sebanyak 77 Juta Ton tersebut, China hanya menggunakannya sebanyak 60 Persen. Sedangkan sisanya digunakan untuk mengendalikan harga dunia.
Sementara dari aspek bahan baku yang mempengaruhi HPP Pupuk, terutama harga gas alam, Malasyia saja hanya mengeluarkan biaya untuk pengadaan gas alam sebesar 4 US Dolar Per MMBTU, separuh lebih rendah dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh Pusri.
Maka, sangat tidak mungkin bagi Pusri untuk bisa bersaing dengan penghasil pupuk dari negara lain. Bahkan, saat ini Pusri mulai dicemaskan dengan keberadaan Malasyia yang secara geografis sangat dekat, sehingga mudah memasukkan pupuk produksinya ke Indonesia.
Apalagi, Pusri telah mendeteksi adanya pupuk asal Negara China di dua wilayah di Indonesia, Riau dan Palembang. Pusri seakan menghadapi tantangan berat seorang diri, dengan daya saing yang sangat lemah. Beban produksi yang tinggi, produktifitas pabrik yang sudah uzur, tak efisien dan bahkan boros energi. Dan, di tengah era MEA, sangat kecil kemungkinan Pemerintah bisa memberikan proteksi terhadap pupuk produksi dalam negeri.
Segala daya telah dilakukan Pusri guna meminta dukungan semua pihak, terutama Pemerintah, agar setidaknya beban produksi bisa diringankan. Namun, beberapa kali pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (SKK Migas), tak satu pun keputusan menggembirakan bagi Pusri bisa dihasilkan.
Utamanya dalam hal penentuan harga gas alam yang harus dibeli Pusri dari Pertamina. Sedangkan, untuk membeli gas alam langsung dari luar negeri tanpa melalui Pertamina, justru akan lebih mahal. Pasalnya, membeli gas alam dari luar negeri itu berbentuk cair, sehingga harus dikonversi lagi sehingga memakan biaya tambahan yang cukup tinggi.
Namun di tengah situasi serba tak menguntungkan itu, ada sedikit angin segar dengan niatan Pemerintah untuk merevitalisasi pabrik dan menambah kapasitas produksi pupuk Pusri dengan membangun pabrik baru, yaitu Pabrik Pusri II B. Proses pembangunannya kini telah mencapai 99,07 Persen. Pabrik baru itu akan menambah kapasitas produksi pupuk Urea sebanyak 907.500 Ton Per Tahun.
Tetapi, lagi-lagi Pusri harus menuai beban berat lagi dengan dibangunnya pabrik baru tersebut. Pasalnya, beban anggaran pembangunan Pabrik Pusri II B sebesar Rp 7 Trilyun itu harus dikembalikan oleh Pusri dengan cara mengkreditnya. Maka, bisa dibayangkan beban kredit yang harus ditanggung dengan masa kontrak kerja yang dimiliki Pusri yang hanya selama 5 tahun. Sedangkan, selama ini Pusri hanya memperoleh marjin sebesar 10 Persen dari penjualan pupuk bersubsidi.
Kendati sarat beban yang sungguh berat, demi para petani yang “dipaksa” untuk terus meningkatkan produktifitas pertaniannya seiring dengan program pemerintah di bidang swasembada pangan, Pusri tetap berkomitmen untuk mencukupi kebutuhan pupuk bersubsidi. Berbagai daya pun dilakukan untuk menekan biaya produksi. Antara lain dengan mengubah sistem bahan bakar generator listrik dan steam yang semula menggunakan bahan bakar gas alam diganti dengan batu bara. Dengan demikian, gas alam yang semula digunakan sebagai bahan bakar dialihkan untuk menambah bahan baku pembuatan pupuk.
Perubahan ini dilakukan dengan membangun Steam Turbin Generator dan Boiler Batu bara, yang kini proses pembangunannya sudah mencapai 96,39 Persen. Di tengah berbagai upaya itu, ada tugas berat lain yang harus segera dilakukan Pusri, yaitu membangun gudang baru yang cukup besar, untuk menampung hasil produksi pupuk dari pabrik baru, II B. Pusri sebagai anak perusahaan BUMN, pun berharap ada upaya nyata dari Pemerintah untuk meringankan beban produksi. Mengharapkan hasil penjualan pupuk non subsidi atau komersial, pun tak mungkin bisa bersaing dengan pupuk produksi negara lain yang harganya jauh lebih murah.
(Disarikan dari perbincangan bersama jajaran Manajemen PT PUSRI Palembang, Sumatera Selatan, saat berkunjung di Yogyakarta. Hadir dalam perbincangan itu antara lain, Sekretaris Perusahaan, M. Zain Ismed, Manajer Humas, Sulfa Ganie, Manajer Rencana dan Pengendalian Pemasaran, Deddy Nifyandi, Manajer Penjualan Produk PSO, Ferryzal Riansyah dan Kepala Bagian Humas PT Petrokimia, Widodo Heru.)