Saya cuma tahu Jakarta dari televisi. Semarak dan indah sekali. Segalanya ada. Malnya besar-besar. Bioskop, hotel, tempat hiburan tersebar di setiap pojok gang.
Bukit itu seperti bentangan layar panggung yang belum disingkap. Cahaya di baliknya masih malu-malu menampakkan diri sehingga hanya hadir sebagai siluet.
Setelah bertahan dengan tongkat dan kaki gemetaran dalam jalanan becek selama satu jam, sebuah pompong (sampan/perahu bermotor) menunggu di tepian Sungai Rereiket.
Begitu percakapan anak-anak dengan calon pegawai perpustakaan yang baru. Anak-anak itu begitu polosnya bercerita tentang hantu yang ada di pojok lemari. Pak Mahdun mendengarkannya dengan seksama, sambil membayangkan seperti apa gambaran…
Kalau tulisan itu sudah terkumpul banyak akan diterbitkan dalam bentuk buku dan diberi judul: Memoar Pecandu Kopi. Nantinya buku itu akan diobrolkan dengan mengundang para pakar kopi.
“Lha nanti, kalau sungainya terisi air lagi, apa ndak sia-sia jerih payahnya itu?” ujar Bapak, meski kata orang-orang sejak kedatangan orang Korea sungai itu sekarang hanya menjadi tempat lewat air sementara.
RAUT muka Demang Suralaga memucat ketika telinganya mendengar suara lolongan panjang memecah kesunyian. Kerbau-kerbau di kandang terdengar melenguh bersahutan.