BAPAK mau jadi penjaga perpustakaan?
Iya.
“Hati-hati lho, Pak, ada hantunya!”
Begitu percakapan anak-anak dengan calon pegawai perpustakaan yang baru. Anak-anak itu begitu polosnya bercerita tentang hantu yang ada di pojok lemari. Pak Mahdun mendengarkannya dengan seksama, sambil membayangkan seperti apa gambaran hantu itu di mata anak-anak.
Mereka ada yang bilang mirip setan, matanya merah menyala, giginya bertaring, tangan dan kukunya panjang berdarah. Ada juga yang bercerita bahwa di pojok perpustakaan itu, bukan setan tapi kuntilanak.
Rambutnya tergerai panjang, matanya hitam dan bajunya putih, kakinya tidak menyentuh tanah, kira-kira 20 cm di atas lantai. Ada juga yang bilang pernah melihat tengkorak manusia berjalan ke sana-ke mari.
Semua yang diceritakan anak-anak itu dapat dilihat jelas oleh pikiran Pak Mahdun, seolah benar-benar nyata dan ada.
Pak Mahdun tidak takut, namun tersenyum karena anak-anak mampu bercerita dengan detil dan jelas, dia berpikir bahwa imajinasi anak-anak itu luar biasa. Pak Mahdun yakin itu hanya khayalan mereka, hantu-hantu ciptaan yang sengaja dihadirkan di ruang perpustakaan.
Bisa jadi mereka hanya tidak mau belajar atau pinjam buku di perpustakaan untuk menambah pengetahuannya. Tapi Pak Mahdun dapat melihat kelebihan anak-anak itu dari caranya bercerita yang menggebu-gebu, tatapan matanya yang berbinar, seolah-olah mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Mereka anak-anak cerdas, pikir Pak Mahdun, dan mereka hanya menakut-nakuti saja, lebih mudah bilang mereka hanya anak-anak usil, yang perlu diperhatikan potensi yang ada dalam dirinya.
Sebab setiap anak yang tidak biasa cara berpikirnya jelas memiliki kelebihan yang berbeda. Pak Mahdun sudah biasa dengan dunia anak-anak semenjak menjadi guru seni di beberapa Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak.