DARI aromanya, Dewangga menebak ini pasti Wamena Arabika. Penciumannya menemukan paduan aroma karamel dan spicy.
Ia langsung membayangkan keseimbangan rasa asam dan pahit yang tertinggal di pangkal lidahnya usai mencecap Baliem Arabika itu.
Ah, andai ada Mona, ia pasti mengajak taruhan tentang aroma kopi ini. Siapa kalah, ia harus membayar semua menu yang dipesan.
Tetapi Mona sudah menjadi bagian dari pahit masa lalu yang tak tertandingi pahitnya kopi jenis apa pun yang pernah dicicip lidahnya. Long Distance Relationship (LDR) satu tahun membuat ia memutuskan menikah dengan dosennya.
Menanggalkan semua rencana yang pernah dirancang bersamanya. Salah satunya membuat kedai kopi mungil, nyaman dan instagramable.
Mona juga merancang bila kedai itu sudah dibuka, setiap Senin pengunjung boleh memesan kopi jenis apa pun dengan menyerahkan tulisan tentang kopi sebagai ganti pembayaran untuk tiga gelas kopi, tiga kali Senin.
Kalau tulisan itu sudah terkumpul banyak akan diterbitkan dalam bentuk buku dan diberi judul: Memoar Pecandu Kopi. Nantinya buku itu akan diobrolkan dengan mengundang para pakar kopi.
Dewangga terkagum-kagum dengan ide Mona. Termasuk nama kedai yang sudah disediakan: Kedai Vilako. Viva la Kopi. Ia terbahak waktu itu.
Ia masih ingin terbahak tetapi urung mengingat cita-cita itu kandas sepaket dengan cintanya. Dia sempat berpikir apakah rontoknya cinta kepada Mona juga akan merontokkan cintanya pada kopi?
Ternyata tidak. Kalau ada yang berpendapat bahwa “kebanyakan manusia mati bersama sesuatu yang digilai,” ia tak keberatan bila mati sedang menikmati kopi. Bukankah itu justru kematian yang manis?