Pada 2025, pemerintah menetapkan IKN sebagai ibu kota politik mulai difungsikan secara bertahap pada 2028. Menegaskan keputusan strategis yang telah dipertimbangkan selama bertahun-tahun tidak direvisi. Tidak ada perubahan terhadap skenario pemindahan ibu kota itu.
Meskipun kontroversi ini menimbulkan diskusi nasional dan menambah ketegangan opini publik, skala protes tetap lebih kecil dibanding gelombang “Indonesia Gelap”. Isu ini bersifat teknokratis dan memerlukan pemahaman mendalam tentang perencanaan pembangunan.
Kluster keempat berkaitan dengan blunder pejabat dan kontroversi kebijakan daerah. Kasus seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di Pati, Bone, dan Cirebon. Pernyataan pejabat yang tidak sensitif. Kontroversi tunjangan anggota DPR. Anggota DPR jogged-joged ketika kenaikan tunjangan.
Insiden pembakaran rumah pejabat memperlihatkan blunder itu. Sekaligus cerminan kelemahan komunikasi publik dan koordinasi di tingkat pusat maupun daerah. Kekecewan itu terus membesar dan terakumulasi menjadi ledakan kemarahan.
Kasus Pati, misalnya, menimbulkan protes publik secara signifikan. Warga menilai kenaikan pajak secara drastis tidak adil dan tidak dikomunikasikan dengan baik. Fenomena ini menunjukkan bahwa selain isu nasional, kegagalan manajemen kebijakan lokal dapat memicu gelombang kritik yang memperkuat persepsi publik bahwa pemerintah tidak responsif.
Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan lebih 12 kabupaten/kota mengalami protes publik terkait pengelolaan pajak dan anggaran lokal sepanjang 2025. Menegaskan jika tren ketidakpuasan itu memang meluas.
Empat kluster utama isu ini bertautan/bersisiran dengan manuver para koruptor (dibuktikan vonis pengadilan) beserta pendukungnya, agar bisa keluar dari jeratan hukum. Kasus amnesti terhadap Hasto dan abolisi terhadap Tom Lembong menjadi contoh bagaimana gelombang protes dan tekanan publik bisa diduga digunakan sebagai bargaining politik dalam menekan proses hukum.