Ketum Parpol-Aleg: Dua Periode ?

Teori Patronase & Clientelism mengajarkan hal tersebut. Jaringan patronase cenderung menguat seiring lamanya seseorang berkuasa. Literatur tentang clientelism (karya Scott, 1972) menunjukkan hubungan patron-klien bisa menjadi sarana korupsi. Pembatasan masa jabatan mengurangi kesempatan memperkuat jaringan secara berlebihan.

Keempat, konsistensi dengan prinsip “Demokrasi Konstitusional”. UUD 1945 sudah memberi contoh pembatasan masa jabatan presiden. Maksimal dua periode. Jika alasan ini dianggap penting mencegah otoritarianisme pada level nasional, logis ketika prinsip serupa diterapkan pada level partai dan daerah. Masa jabatan gubernur dan bupati/walikota sudah disesuaikan dengan UUD 1945.

Kenapa partai juga perlu dibatasi masa jabatan ketua umumnya?.

Partai merupakan pusat kaderisiasasi sumberdaya kepemimpinan nasional. Prinsip “Demokrasi Konstitusional” harus diterapkan sejak dari level ini. Kekuasaan ketua umum partai yang terlalu lama dapat membuka celah praktik korupsi maupun otoritarianisme.

Kita telaah melalui prinsip: Rule of Law & Equality Before the Law. Pembatasan masa jabatan presiden dalam UUD 1945 mencerminkan prinsip pembatasan kekuasaan (constitutionalism). Penerapannya di level lain (kepala daerah, ketua partai, pejabat publik) bisa dipandang sebagai perwujudan asas kesetaraan dan pencegahan dominasi politik.

Kelima, untuk meningkatkan meningkatkan akuntabilitas. Pemimpin yang (dipaksa) tahu/sadar bahwa masa jabatannya terbatas, cenderung lebih fokus mencapai hasil. Pembatasan masa jabatan memaksa pejabat bekerja lebih baik dalam waktu yang tersedia.

Prinsip itu sejalan teori Principal-Agent. Pejabat publik adalah agent yang diberi mandat oleh rakyat (principal). Jika masa jabatan terbatas, agent akan lebih fokus bekerja secara efisien. Mereka tahu “waktu kontraknya” tidak bisa diperpanjang seenaknya.

Lihat juga...