“Orang yang menutupi kesalahan atau kejahatan orang lain dengan jujur akan diberi pahala, karena yang hak akan tetap terungkap” – HR. Ibnu Majah. “Jauhilah dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka; kebenaran akan selalu terungkap”- HR. Bukhari.
Terlepas dari ketentuan itu, ada juga dikenal istidraj. Penundaan sementara atas vonis sebuah kesalahan. Ialah keberhasilan dalam kejahatan untuk sementara. Akan tetapi ada akhirnya akan kalah.
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa Kami memberi tangguh kepada mereka itu lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan”– QS. Ali ‘Imran [3]: 178. Penundaan hukuman bukanlah tanda kebaikan. Melainkan justru menambah dosa.
“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka semua pintu (kenikmatan). Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba…” (QS. Al-An’am: 44).
Permasalahannya kita sering membajak kebenaran menggunakan ambisi. Justifikasi ambisi yang sebenarnya ada unsur-unsur kesalahan seakan-akan merupakan sebuah kebenaran. Maka narasi “kenapa sudah berbuat benar tapi juga tidak berhasil” perlu diverifikasi.
Bisa saja perspektif apa yang dipercaya sebagai kebenaran, ternyata sebuah kesalahan. Bisa jadi ambisi pribadi telah menjadikan kesalahan diimajinasikan sebagai kebenaran. Potsulat “kebenaran akan menemukan jalannya sendiri” berlaku universal. Termasuk membabat kesalahan apa saja yang berlindung dibalik narasi kebenaran.