Kontra Narasi Terpidana Korupsi

“Saya dijebak atau dikriminalisasi”: mengklaim dijadikan kambing hitam oleh lawan politik atau internal lembaga. “Itu bukan gratifikasi, tapi hadiah tanda terima kasih”: membingkai suap sebagai bentuk apresiasi yang sah. “Saya tidak tahu kalau itu melanggar aturan”: dalih ketidaktahuan hukum, padahal dalam posisi strategis.

“Semua sudah sesuai prosedur”: menekankan atau mengalohkan fokus pada aspek administratif meski substansi perbuatan melanggar hukum. “Uang itu untuk kepentingan lembaga/sosial”: mengklaim dana digunakan untuk sumbangan, kegiatan sosial, atau organisasi.

“Ada niat baik untuk mengembalikan uang”: menunjukkan penyesalan untuk meringankan hukuman. Sering dilakukan setelah tertangkap. “Itu bagian dari dana operasional rahasia”: menyebut anggaran tidak resmi, yang sulit diaudit, sebagai alasan.

“Saya tidak ikut menikmati uangnya”: menolak disebut korupsi karena tidak secara langsung memperoleh keuntungan pribadi. “Saya hanya menjadi korban sistem”: menyalahkan budaya korup atau kebijakan organisasi. “Itu keputusan kolektif, bukan keputusan saya sendiri”: membagi tanggung jawab agar tidak menjadi pihak tunggal yang disalahkan.

 

 

“Saya difitnah oleh pihak yang iri atau sakit hati”: memainkan narasi konflik pribadi atau politik. “Proyek itu berhasil, tidak ada yang dirugikan”: menjustifikasi korupsi dengan hasil akhir proyek yang berjalan baik. “Saya tidak pernah menerima uang itu, tidak ada bukti transfer ke saya”: fokus pada bukti formal meskipun ada saksi atau uang cash yang disita.

Itulah contoh-contoh narasi dibangun para terpidana korupsi dalam mempengaruhi persesi publik. Agar ia tidak dianggap penjahat oleh publik. Termasuk mengesankan diri sebagai religius. Melekati dirinya dengan simbol-simbol religi. Peduli terhadap kaum rentan. Sangat dekat dengan Tuhan.

Lihat juga...