Idealisasi Relasi Sinergis KPK dan Dewan Pengawas

OLEH YASSIR ARAFAT

Yassir Arafat - Foto: Istimewa

Potensi “Pelemahan” KPK
Revisi terhadap UU KPK dinilai banyak pihak janggal, sarat kepentingan dan penuh spekulatif. Mengingat, revisi UU KPK hanya melalui dua kali rapat pembahasan antara DPR dan pemerintah.

Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2019, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya ditulis UU KPK hasil revisi) telah diundangkan dalam Lembaran Negara RI No.197 Tahun 2019 dan Tambahan Lembaran Negara RI No.6409.

Setidaknya ada tiga poin yang penting dan krusial dalam UU KPK hasil revisi tersebut. Pertama, penghentian penyidikan dan penuntutan. Penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila proses penyidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Tujuannya agar ada kepastian hukum terhadap tersangka. Namun, tindak pidana korupsi yang melibatkan elit politik atau orang-orang yang mempunyai “pengaruh” tenggang waktu ini akan “menyandera” pimpinan dan para petugas KPK untuk mengungkap kasusnya.

Sebab pola, modus dan pelakunya “berlapis” dan “sistematis”. Jika tidak ekstra dalam pengusutan kasus sulit untuk mengungkap dan menjeratnya.

Kedua, prosedur penyadapan. Pimpinan KPK harus mengajukan izin tertulis, kepada Dewan Pengawas (selanjutnya disingkat Dewas) KPK. Proses permintaan izin penyadapan diterima atau ditolak paling lama 1×24 jam sejak permintaan diajukan.

Apabila mendapat izin, jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan. Ketiga, pegawai KPK berstatus Aparatur Sipil Negara. Perubahan ini sebagai konsekuensi dari putusan MK No. 36/PUUXV/2017, yang menyatakan KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan.

Lihat juga...