Idealisasi Relasi Sinergis KPK dan Dewan Pengawas

OLEH YASSIR ARAFAT

Yassir Arafat - Foto: Istimewa

Hal ini dilakukan agar kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas.
Belum optimalnya kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi, keberadaan KPK harus tetap dipertahankan.

Sebab, menyelamatkan KPK sama artinya dengan menyelamatkan negara dari koruptor. KPK harus tetap eksis dan optimis, meskipun ada potensi “pelemahan” terhadap kewenangannya.

Hal ini dapat dilihat dalam UU KPK hasil revisi, yang membreidel sekian kewenangan yang sangat urgen. Disamping itu, adanya Dewas KPK juga menjadi “problematika” baru bagi KPK.

Resistensi terhadap UU KPK
Adanya potensi “pelemahan” terhadap eksistensi KPK, menyebabkan banyak pihak yang menolak UU KPK hasil revisi. Penolakan terhadap UU KPK hasil revisi cukup masif dari seluruh lapisan masyarakat.

Pegiat anti-korupsi menempuh berbagai cara dan upaya agar UU KPK hasil revisi dibatalkan. Termasuk mendatangi Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu sebagai wujud penolakannya.

Namun, sampai sekarang tidak ada kepastian terkait Perppu tersebut. Bahkan Presiden memilih dan melantik Dewas KPK. Kebijakan inilah yang menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Sehingga muncul pertanyaan, apakah Presiden setuju terhadap “pelemahan” kewenangan KPK?

Apakah Presiden memiliki pemikiran dan pertimbangan lain dalam “menguatkan” KPK sebagai intitusi terdepan dalam pemberantasan korupsi?

Upaya lain yang ditempuh oleh para pegiat anti-korupsi melalui judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Di tengah berbagai upaya yang dilakukan oleh pegiat anti-korupsi, para pimpinan KPK sudah dilantik. Bahkan dalam berbagai kesempatan para pimpinan KPK menyatakan kinerjanya tidak akan terganggu meskipun undang-undangnya telah diubah.

Lihat juga...