Akademi sepak bola belum memiliki standar tinggi. Kompetisi usia muda (U-13, U-15, U-17) belum merata dan intensif. Akibatnya tidak tercipta transisi yang bagus dari junior ke senior.
Kompetisi lokal kurang kompetitip. Liga 1 dan 2 sering mengalami penundaan, dualisme atau adanya insiden sehingga kompetisi dihentikan (kasus Kanjuruhan). Sejumlah klub tidak mengandalkan pembinaan jangka panjang. Mencari prestasi instan. Sewa pemain.
Korupsi, transparasni dan akuntabilitas masih perlu dibenahi. Kualitas pelatih dan fasilitas pelatihan belum memadai. Pengalaman internasional perlu lebih intensif. Mentalitas masih belum kuat oleh budaya tekanan sosial/pujaan suporter secara berlebihan.
Solusinya perlu penyeragaman desain kurikukum secara nasional berbasis sport science. Semua SSB harus menerapkan kurikulum itu dengan standarisasi yang ketat. Perlu standarisasi pelatih usia muda.
Infrastruktur perlu dibangun. Setidaknya setiap provinsi memiliki 1 pusat pelatihan regional. Kompetisi usia dini harus digelar secara rutin dan struktur. Perlu jalur transisi pemain muda ke elit muda dan profesional. Scouting nasional berbasis data juga diperlukan.
Para pemain usia dini juga perlu dukungan ekonomi, psikologis dan pendidikan formal. Kelangsungan studinya harus dijaga. Harus ada back up karir. Harus ada PSSI, kementerian terkait, sekolah dan klub.
Secara sederhana, perlu pembangunan 34 pusat pelatihan regional, pelatihan dan lisensi minimal 10.000 pelatih usia muda, pengembangan kurikulum nasional, subsidi SSB, liga usia muda. Perlu pula beasiswa untuk pendidikan pemain, kampanye dan promosi untuk dukungan partisiatif masyarakat. Tidak kalah penting adalah audit publik untuk pengelolaan dana PSSI.