Oleh: Abdul Rohman Sukardi
Kasus Karangan Bunga BEM Fisip Unair memicu dilema. Pada satu sisi, negara harus mengajarkan rakyatnya kehidupan beradab. Pada sisi lain saluran aspirasi dan kultur kritisisme tidak boleh dibungkam.
Keduanya harus dibangun secara harmonis. Tidak melabrak prinsip pembangunan peradaban itu sendiri. Agar tidak kontraproduktif. Terhadap spirit bangunan peradaban yang hedak diwujudkan.
Sila kedua Dasar Negara kita, Pancasila, mengamanatkan pembangunan peradaban itu. Terwujudnya pranata sosial kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. Menjunjung tinggi tegaknya keadilan.
Terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaan serta terlindunginya keadilan itu harus dalam bingkai keadaban. Bukan spirit atau nilai yang berdiri sendiri.
Kampus, esensinya sebuah mimbar akademik. Mimbar kemerdekaan berfikir. Memiliki otoritas akademik. Otonom. Merdeka dalam menyuarakan idealisme. Tentu sesuai standar akademik.
Kontraproduktif jika kampus mencotohkan peradaban barbar. Peradaban anti keadaban. Kritisisme kampus haruslah merupakan kritisisme yang terukur. Bahkan anarkhirme kampus, merupakan anarkhisme yang berdasar secara keilmuan. Diikat oleh nilai-nilai kecendekiaan.
Reformasi telah menggeser banyak hal. Khususnya pergeseran idiologi gerakan perubahan dan idiologi gerakan kekuasaan. Kampus atau jebolan aktivis kampus tidak sedikit terseret pergeseran itu.
Kampus memiliki tiga sistem kaderisasi gerakan.
Pertama: kaderisasi dan intelektualisme. Melalui tempaan akademik dari beragam pandangan keilmuan. Materi perkuliahan, diskusi, seminar, simposium. Maupun reading habbit (tradisi membaca literatur). Membentuk cara pandang kecendekiaan segenap civitas akademika.