Idiologi Gerakan Perubahan dan Kekuasaan

Situasi bergeser ketika Indonesia memasuki era reformasi. Ketika kebebasan berbicara diberi keleluasaan tanpa barrier. Tanpa koridor pembatas. Hanya dalam Batasan pencemaran nama baik. Bukan serangkaian value. Nilai. Maka spirit pembangunan peradaban itu dilupakan.

Bukan idiologi gerakan perubahan yang mengemuka. Diskursus publik digeser pada narasi bernuansa idiologi gerakan kekuasaan. Berkutat pada: suka tidak suka pada pemegang kekuasaan. Jatuh menjatuhkan antara pemegang kekuasaan dan pengejar kekuasaan.

Sumpah serapah, framming, logical falacy, pembunuhan karakter. Menyeruak dalam diskursus publik. Orang-orang yang tidak memiliki tempaan kaderisasi dalam gerakan perubahan ikut dalam diskursus publik. Kultur dialektika publik berubah sekedar jatuh menjatuhkan lawan politik.

Berbekal dengan penguasaan basis massa dan kemampuan orator, bermunculan figur-figur baru tanpa latar belakang tempaan idiologi gerakan perubahan. Bahkan hanya berbekal sejumlah dalil-dalil keagamaan. Mereka lihai menghujat dan jatuh menjatuhkan lawan politik. Targetnya: lawan politik jatuh. Diganti dengan kelompoknya.

Ketokohan gerakan seperti ini menjadi role model baru. Idiologi gerakan perubahan digeser idiologi pemburu kekuasaan. Bukan berjuang untuk gerakan perubahan. Melainkan perubahan harus dilalui dengan perubahan kekuasaan. Dan kekuasaan itu harus mereka berada di dalamnya.

Kekuasaan tentu merupakan magnet bagi siapa saja. Maka idiologi kekuasaaan ini menarik minat banyak pihak. Termasuk mempengarui aktivis-aktivis kampus dan eks aktivis kampus untuk menirunya.

Barangkali seperti itu kejadian BEM Unair bisa dijelaskan. Apa target value yang hendak dicapai dari pesan karangan bunga itu?. Pesan perubahan apa yang hendak disampaikan?. Absurd. Hanya framming buruk. Tidak ada target perubahan yang diusung.

Lihat juga...