Prabowo dan Potensi “Pedhot Oyot”

Pilpres 2024. Prabowo bukan saja didukung Presiden Jokowi. Prabowo juga berhasil lepas dari citra keterkaitan dengan Islam garis keras. Sekaligus membuka pintu masuknya kelompok Islam moderat. Ia menang pilpres. Oktober 2024 nanti dilantik.

Kelompok “Islam garis keras” memang heroik. Hingar bingar. Propagandist ide yang baik. Akan tetapi masih menjadi common enemy bagi mayoritas publik Indonesia. Pembawa negative image bagi yang dilekatinya.

Ada dua peristiwa pasca pilpres 2024. Dianggap sejumlah pihak sebagai blunder dan tanda-tanda Pedhot Oyot. Bukan saja pada Prabowo. Melainkan juga sejumlah parpol koalisinya.

Pertama, AHY, ketum partai Demokrat. Juga sebagai Menteri ATR. Mengundang Ustadz Riza Syafiq Basalamah di rumah Dinasnya di Widya Chandra. Untuk ceramah. Utasdz ini dikenal sebagai tokoh Salafi-Wahabi.  Kedua, pertemuan petinggi Demokrat Sufi Dasco dan Habiburrahman dengan petinggi eks FPI. Rizieq Syihab. Menjalankan misi yang dinarasikan sebagai “merangkul, bukan memukul”.

Keduanya bukan peristiwa besar. Akan tetapi dinilai sisiran basis massa tertentu cukup bisa memicu terjadinya “pedhot oyot”.  Peristiwa itu bisa dimaknai sebagai kiriman pesan sikap akomodasionis lingkaran Prabowo terhadap Islam garis keras. Bukan soal bener dan salah. Melainkan soal cara merawat psikologi basis dukungan.

Terminilogi Jawa juga mengenal istilah “mburu uceng, kelangan dheleg”. Mengejar ikan kecil kehilangan ikan besar.  Satu pilihan yang bisa jadi terkait erat dengan masa depan rezim: satu periode atau dua periode.

Soal cara merawat psikologi konstituen kita bisa belajar pada Presiden Soeharto. Kasus relasi NU dan LDII. Bagi masyarakat di daerah, keduanya sulit disatukan. LDII dinilai takfiri oleh masyarakat NU. Keduanya sering terjadi pergesekan.

Lihat juga...