Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
Sengkuni. Merupakan simbol kelicikan dalam dunia pewayangan. Ia sosok perdana menteri kerajaan Astina. Lihai membuat intrik. Pengadu domba. Pemicu disharmoni dan peperangan.
Jika ingin melampiaskan tabiat bertengkar. Panggil Sengkuni. Dari tidak memiliki alasan bertengkar, menjadi muncul beragam alasan untuk bertengkar. Tidak ada alasan untuk menghindarinya. Itulah sengkuni.
Idologi Sengkuniisme adalah sebuah perilaku pengedepanan intrik dalam diskursus politik. Bukan adu nilai. Adu gagasan. Adu Ide. Melainkan bagaimana memunculkan framming saling menyudutkan di luar hal-hal prinsipil.
Akibatnya tumbuh saling curiga, aroma kejengkelan, hard fealing. Pada taraf ekstrim tumbuh satu situasi: tidak bisa menghindar untuk bertengkar.
Peradaban politik di Indonesia tampaknya masih banyak dililit “politik sengkuniisme” itu. Ketika gagal melalui kompetisi konvensional. Jurus intrik dibuat untuk menjatuhkan lawan.
Pencermatan soal ini lebih menekankan pada content isu. Bukan mengacu orang-orang atau kelompok orang terlibat.
Sebagai contoh adalah intrik terkait statemen calon presiden terpilih. Prabowo Subianto. Pada suatu kesempatan membuat statamen soal pentingnya stabilitas. Media mengkreasinya melalui judul berita. “Prabowo: Untuk Apa Bangun Kereta Cepat dan Jalan kalau Negara Ini Tidak Aman?”.
Statemen itu dibuat intrik. Seakan-akan Prabowo menyerang Jokowi. Bahwa percuma Presiden Jokowi membangun infrastruktur. Karena faktanya stabilitas menjadi barang mahal. Jokowi tidak peka prioritas kebutuhan rakyat. Itulah intrik yang dibangun.
Intrik juga “digelorakan” Ketua Umum PDIP Megawati dalam Rakernas V PDIP. MK sudah memutuskan kemenangan Prabowo-Gibran tidak bermasalah. KPU juga sudah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang.