Jika pandangan ulama atau opini hukum keagamaan ulama tidak siap berhadapan dengan verifikasi akademik, bisa menjadi pemicu lonceng kematian kepercayaan publik bagi ulama. Akan terjadi gelombang “distrust” terhadap ulama.
Islam diketahui sebagai agama ilmu dengan metode sanad. Harus bersumber pada Al Qurán dan Hadits. Ijmak (konsensus) mashur. Maupun qiyas (analogi hukum). Semua harus bisa diverifikasi dari sumber otentiknya pada Alquran dan Hadits.
Pada masa dahulu, publik belum banyak menikmati fasilitas pendidikan ilmu pengetahuan. Metode sanad, dilakukan melalui pewarisan ilmu secara berantai dari guru ke guru dan sambung menyambung.
Kini era keterbukaan ilmu pengetahuan. Banyak ummat mampu mengakses sumber-sumber primer keagamaan. Baik Al-Qur’an, Hadits maupun salafus sholih. Maka ketika opini hukumnya dinilai janggal, ulama atau guru itu dengan sendirinya terkoreksi. Akan ditinggalkan.
Era ketundukan pada opini hukum ulama tanpa koreksi itu terjadi ketika tidak ada iklim akademik yang terbuka seperti saat sekarang. Ketika ulama itu satu-satunya sumber kepakaran untuk belajar. Ketika ummat mampu mengaksis sumber-sumber primer, pandangan hukum para ulama/guru agama harus bisa diverifikasi.
Ketiga, munculnya tuntutan standaraisasi ulama. Adanya keharusan lebih detail dan presisi dalam mengemukaan suatu hujjah (argumentasi) atau opini hukum keagamaan.
Setiap opini harus didasarkan sumber rujukan secara lengkap. Al-Qurán, Hadits, Ijma’, Qiyas. Sebagaimana kajian almiah dalam tradisi akademik modern. Menyertakan rujukan referensi pendapatnya. Metode “kata ulama ini, ulama itu”, dan seterusnya, tanpa rujukan otentik dari sumber hukum Islam akan diabakan. Ummat sudah bisa menelusurinya sendiri sumber-sumber primer itu.