Pagi ini saya merasakan semilir angin sepoi-sepoi berulang-ulang. Teringat sebuah memori ketika hidup di kampung dulu. Di Jawa Timur bagian barat. Mataraman.
Memori itu adalah Mongso Songo. Kalau di bahasa Indonesiakan artinya “masa ke sembilan”. Masa ketika angin kencang berlangsung. Ingatku ketika juga musim hujan dimulai.
Biasanya saya mencari pohon-pohon kecil tapi rimbun di lereng-lereng. Yang dahannya kuat. Saya naik di atasnya. Menikmati ayunan pohon yang diterjang angin. Sambil merasakan sensasi sentuhan angin.
Sekaligus menikmati pemandangan di lereng-lereng bagian bawah. Terlihat dahan-dahan dan daun-daun serempak berayun-ayun ditiup angin.
Berjam-jam biasanya menghabiskan waktu berayun-ayun di atas dahan setiap harinya. Berhari-hari sampai musim berakhir. Setelah pulang sekolah jika waktunya sekolah.
Keceriaan Moso Songo biasanya disertai bermunculannya jamur. Namaya “Jamur Barat”. Kalau dibahasakan Indonesia artinya “Jamur di musim angin kencang”.
Biasanya siapa yang menemukan mereka bisa memanen. Menemukan Jamur Barat di lereng-lereng perbukitan rimbun itu juga sensasi tersendiri.
Orang-orang tua kita dulu memiliki pijakan bercocok tanam berdasarkan karakter musim. Menurut sebuah cerita, itu disebut ilmu “titen”. Artinya “mengamati”.
Ilmu titen artinya ilmu dari mengamati dalam waktu panjang. Amatan itu diingat kemudian dijadikan pijakan.
Dalam bahasa science, ilmu titen itu bisa disebut dengan “riset”. Jadi kategorisasi karakter musim untuk panduan bercocok tanam itu sebenarnya riset orang-orang jaman dahulu.
Apa hasil-hasil riset orang jaman dulu ini juga dipelajari oleh fakultas-fakultas pertanian di masa sekarang?. Untuk dipadukan /dikombinasikan dengan temuan-temuan keilmuan modern?.