METAMORFOSA POLITIK PRESIDEN JOKOWI

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Apa perbedaan corak politik Presiden Jokowi usai pecah kongsi dengan Megawati?. Jawaban atas pertanyaan ini harus dilihat dari perspektif makro kepemimpinan itu sendiri.

Kepemimpinan bukanlah semata corak figur personal. Melainkan perpaduan antara corak dan kapasitas personal dengan lingkungan atau komunitas politik penyangga kepemimpinan itu.

Sejak kemunculannya dari walikota Solo, Presiden Jokowi disangga kekuatan politik PDIP. Memang banyak partai koalisi pendukung eksistensi kepemimpinannya. Sejak walikota, gubernur hingga presiden. Akan tetapi corak idiologis yang dominan adalah corak idiologis PDIP.

Ialah bercorak liberal kiri. Narasi-narasi kebangsaan didominasi romantisisme idiologi kekiri-kirian. Seperti contoh narasi kembalinya Pancasila pada esensi 1 Juni.

Pancasila ketika masih bersifat embrional. Ketika fase brainstorming. Bukan rumusan Pancasila yang disempurnakan dan disahkan 18 Agustus 1945.

Termasuk penggunaan idiom-idiom politik khas politik kaum kiri. Seperti penggunaan istilah “petugas partai”. Serta dekonstruksi sejarah yang tidak menguntungkan kaum kiri di Indonesia. Khususnya pada peristiwa tragedi 1965.

Hujatan-hujatan terhadap simbol-simbol keagamaan marak. Hingga susah dibedakan antara anti agama dengan pelurusan terhadap praktek keagamaan yang salah.

Sementara itu kalangan nasionalis murni atau Soekarnois di PDIP dimanjakan glorifikasi romatisisme kehebatan Presiden Soekarno. Glorifikasi itu telah mengundang dukungan publik untuk menjadikan PDIP eksis sebagai partai pemenang.

Pada atmosfere politik seperti itulah Presiden Jokowi dipersepsikan. Setidaknya ia dijadikan sebagai mantel atau tempat berlindung dari corak politik liberal kiri.

Lihat juga...