INDONESIA DAN KEBIASAAN RESTART

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Kapasitas ekonomi bangsa merosot tajam. Hyperinflasi mencapai 650%. APBN defisit. Kelangkaan pangan mencapai level tinggi dalam sejarah. Indonesia terjebak dalam kemiskinan yang sangat akut.

Tampil orde baru melakukan restart kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia berusaha konsisten dengan Pancasila dan UUD 1945. “Pembanguan merupakan penjabaran Pancasila”. Spiritnya begitu.

Pembangunan secara sistematis, bertahap dan berkelanjutan diterapkan. GBHN sebagaimana konsep UUD diaplikasikan untuk memayungi kebijakan pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Capaian pembangunan Orde Baru diyakini mencapai titik aman jika Indonesia stabil melewati tahun 2000. Fase “tinggal landas”, istilah popular kala itu, akan terlewati.

Ialah kondisi perekonomian dengan “industri yang tangguh dan didukung pertanian yang kuat“. Pada tahun 2000 banyak industri strategis sudah mampu memproduksi sendiri produk teknologi. Termasuk industri persenjataan. Indonesia tidak terikat impor dalam jumlah besar lagi.

Orde baru dihantam krisis tahun 1997. Indonesia terpaksa restart. Melakui gerakan reformasi. Pada era inilah keberlangsungan pembangunan Indonesia dilucuti dari payung hukumnya, GBHN. Setiap ganti presiden ganti visi, ganti pendekatan, ganti kebijakan.

Kebiasaan restart bukan saja selalu memulai pembangunan dari nol. Tetapi berdampak pula pada pemborosan. Proyek-proyek jangka panjang dengan studi berbiaya mahal, harus diparkir tanpa kelanjutan.

Sebagai contoh program MP3EI dan Jembatan Selat Sunda era SBY. Harus tidak berlanjut. Penggantinya lebih fokus pada tol laut.

KUD warisan Presiden Soeharto sebagai infrastruktur perekonomian rakyat juga terbengkalai. Tidak dilanjut eksistensinya. Distribusi sarana produksi pertanian mengikuti mekanisme pasar. Petani dihadapkan harga yang sering melambung.

Lihat juga...