SOEKARNOISME DAN SOEHARTOISME

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Pemerintahan Persiden Soekarno menekankan pengadaan proyek-proyek mercusuar. Seperti pembangunan Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, Monas, Bendungan Ir. Sutami, dll. Pada akhir pemerintahannya upaya tersebut mencatatkan hutang ke 32 negara, termasuk ke negara-negara Sosialis.

Hutang tersebut di reschedule oleh penggantinya, pemerintahaan Presiden Soeharto. Dicapai kesepakatan antara Indonesia dengan negara-negara Paris Club pada bulan April 1970 untuk penyelesaian tunggal dan menyeluruh. Utang itu dijdwal ulang pembayarannya hingga tahun 1999.

Lalu apa yang disebut dengan “Soehartoisme”?. Sejumlah pihak menyebutnya sebagai “Pembangunanisme”. Sebuah visi pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat.

Penyebutan Soehartoisme identik dengan Pembangunanisme an sich sebenarnya tidak lengkap. Jika mempelajari buku jejak kebijakan Presiden Soeharto, dari tahun 1967 s.d 1998 akan diketemui spirit utama visi kebijakan Presiden Soeharto. Ialah “Pembangunan Merupakan Penjabaran Pancasila dalam Semua Seginya”.

Jadi pembangunan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia adil dan makmur, haruslah merupakan penjabaran Pancasila dalam semua segi. Bukan implementasi konsep yang tidak sejalan dengan Pancasila. Maka pada saat itu marak kajian istilah “Demokrasi Pancasila, Sistem Hukum Pancasila, Hubungan Industrial Pancasila, dst”.

Pembangunan sebagai penjabaran Pancasila itu dilakukan secara sistematis, terorganisir, bertahap dan berkelanjutan. Pendekatan yang ditempuh disebuh sebagai “Trilogi Pemangunan”. Ialah stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan.

Stabilitas diperlukan karena tanpa stabilitas tidak bisa membangun. Sejarah Orde Lama memberi pelajaran konflik horisontal sangat menyita energi segenap kompenen bangsa. Kerja-kerja pembangunan terbengkalai. Puncak konflik horisontal ini adalah kudeta PKI atahun 1965.

Lihat juga...