Menyikapi ‘Kesambetnya’ Cak Nun

Oleh: Abdul Rohman

Cak Nun bukanlah agen demonstran. Agen penggerak demonstasi-demonstrasi bayaran. Bukan pula intelektual pesanan. Bukan buzzer berbayar. Untuk menyuarakan kesukaan dan ketidaksukaan kepada seseorang pejabat.

Cak Nun bukanlah politisi. Yang ikut ke sana ke mari merebut kekuasaan.

Ia terpanggil oleh takdir sebagai guru masyarakat. Pengajar tak berbayar bagi masyarakat luas.

Kita harusnya memperlalukan berbeda untuk dia. Karena dia telah memperlakukan bangsa ini sangat istimewa. Ia rawat. Ia kawal tanpa lelah. Tanpa memungut uang jasa.

Biarlah ia berbicara dan berpandangan apa saja. Kepada siapa saja. Jangan dimarahi dia. Jangan dimusuhi.

Biarlah ia terus menunjukkan sisi-sisi lain dari bangsa ini. Sisi yang harus kita benahi. Mungkin kita tidak melihatnya. Cak Nun mungkin melihatnya.

Bagaimanapun cara ia mengungkapkan. Itu ekpresi kecintaan dia terhadap bangsa ini.

PKI saja memiliki tradisi auto kritik. Kita yang lebih demokratis tidak boleh alergi terhadap auto kritik.

Satu hal untuk Cak Nun. Dia lebih bersih dibanding kita-kita. Lebih tulus terhadap bangsa ini dibanding kita-kita.

Cak Nun berteriak lantang bukan untuk memeras. Mencari imbalan uang. Cak Nun berteriak keras bukan untuk menjadi jurkam bagi gerakan politik tertentu. Cak Nun berteriak keras bukan untuk menjatuhkan pihak tertentu agar ia bisa berkuasa. Track recordnya bisa kita lacak.

Ia bekerja untuk bangsa. Dengan caranya sendiri.

Maka, biarkan saja Cak Nun bicara apa saja. Suka-suka dia. Dari sanalah kita secara gratis bisa melihat sisi lain diri kita sebagai bangsa.

Mungkin memang ada yang perlu kita benahi. Agar kita semua selamat. Sebagai bangsa.

Lihat juga...