Widuri

CERPEN ANA ANJANI

Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Aku ingin mencintainya dua kali lipat lebih lama. Aku ingin menghabiskan seluruh malamku menunggunya pulang, memeluknya ketika ia datang dengan wajahnya yang lelah, menggenggam tangannya dan tidak melepasnya. Suamiku menempelkan dahinya ke dahiku, dan kurasakan sesuatu yang hangat menetes ke pipiku.

“Istrinya Pak Sadino bisa sembuh lagi setelah kemoterapi,” katanya. “Dia pergi ke spesialis di Malaysia. Besok pagi-pagi aku akan meneleponnya. Seharusnya dia masih punya kontak spesialis itu. Lalu, ada suaminya Bu Nanda. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan pengobatan alternatif. Tapi, tetap harus dicoba.”

Aku menghentikannya. “Musiknya tidak kedengaran,” kataku.

Tangan kami yang sudah kisut itu saling menggenggam. Aku kembali ke masa lalu. Suara Bob Tutupoly mengalun lembut sementara kami berdansa. Orang-orang menonton dan bersuit. Tapi, saat itu hanya ada aku dan suamiku di dunia.

“Sekali lagi?” katanya. Ia mengulurkan tangan.

Aku, si pengantin baru yang masih malu-malu, menganggukkan kepala seraya menyambut uluran tangannya. ***

Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain.

Lihat juga...