Pun pada hari ini, aku sangat geram melihat perilakunya yang seolah merendahkanku. Aku ingin meminta penjelasan atas perilakunya padaku. Kumatikan motor dan turun menghampirinya. Tidak ada ekspresi ketakutan ataupun malu saat aku berjalan ke arahnya.
Sebaliknya, ia terdiam dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Matanya membelalak dan bibirnya terkatup sinis memperhatikan langkahku yang mulai mendekatinya.
Melihat ekspresinya seperti itu, dadaku pun mulai bergejolak dan nafasku naik turun dengan cepat menahan marah. Perempuan sialan, bukankah seharusnya aku yang lebih marah karena perilakunya?
Buru-buru aku menghirup rokok saat berjalan ke arahnya, agar lebih santai menghadapi kegilaannya. Sebatang rokok yang kuhirup membuat nafas dan degup jantungku mulai teratur.
Awalnya, perasaan marah membuat nafasku terasa sesak, rasanya lebih menyesakkan daripada efek rokok yang kuhirup setiap hari. Itulah kenapa aku membutuhkan rokok saat menghadapi apapun karena membuat pikiranku lebih tenang.
“Mengapa kau membidikkan tanganmu ke arah kepalaku, Nona?”
Bibirnya terkatup, ia melebarkan bola matanya dan menatap tajam seolah mengejeku. Nafasnya cepat dan kulit wajahnya kemerahan menahan marah.
“Jika kau hanya diam, aku tidak tahu apa kesalahanku?”
“Tidak usah pedulikan aku, aku hanya sedang berandai-andai.”
Aku sangat terkejut dengan jawabannya. Berandai-andai katanya? Seolah semua orang mau menjadi bahan fantasi liar untuk kebosanannya. Fantasi apa yang ia bayangkan dengan membidikkan tangannya ke arah kepalaku.
Mungkinkah dia berandai-andai menjadi seorang sniper hebat dan mencoba menembak orang tidak penting sepertiku, karena tidak akan bisa menuntut apapun? Atau dia sedang berandai-andai menjadi tokoh antagonis dalam sebuah film triller?