Pola relasi DPR-Presiden dalam menentukan kebijakan negara bersifat transaksional. Bahkan, berpotensi saling sandera kepentingan.
Problem bangsa sebagai implikasi negatif amandemen sebenarnya sudah disadari semua pihak.
Namun, setiap upaya meluruskan kembali selalu dibenturkan dengan isu-isu yang tidak prinsipil dan sarat kepentingan politik yang hendak menumpanginya.
Reamandemen dianggap akan menghilangkan pemilu langsung, presiden dipilih oleh MPR, KPK dibubarkan, periode jabatan presiden, dan lainnya.
Isu ini telah menutupi kebutuhan utama untuk reamandemen terbatas terhadap tiga pasal di atas.
Pelayaran bangsa ini akan kembali ke dalam track-nya tanpa perombakan total. Kita hanya memerlukan re amandeman dengan:
- Mengembalikan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 asli yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis”
- Mengembalikan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 asli menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah Utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.
- Mengembalikan Pasal 3 UUD 1945 asli yang menyatakan, “Majelis permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara”.
Jika dirasa perlu, dalam Pasal 3 UUD 1945 ditambahkan untuk mengadopsi amandemen sebelumnya dengan rumusan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara”.
Dengan demikian, tidak perlu khawatir mengubah ketentuan lain kecuali jika tidak sejalan dengan prinsip ketiga pasal tersebut.